Sesungguhnya semua Ibadah dan ketaatan tidak akan tegak kecuali di atas tiga rukun yang harus tertancap dalam hati kita yaitu cinta (الْحُبُّ), takut (الْخَوْفُ) dan berharap (الرَّجَاءُ). Allah Ta’ala berfirman tentang cinta (artinya): “Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. al Baqarah: 165).

Allah ‘Azza wa jalla berfirman tentang takut (artinya): “Tidaklah ada yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. al A’raaf: 99). Allah Jalla Sya’nuhu berfirman tentang berharap (artinya): “Tidaklah berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-orang yang sesat.” (QS. al Hijr: 56).  Barangsiapa yang cinta, takut dan berharap kepada selain Allah dengan pengagungan, ketundukan dan menghinakan diri maka ia telah mempersembahkan suatu ibadah yang agung kepadanya.

Berkata Abdurrahman as Sa’di: “Pondasi dan ruh dari tauhid adalah mengikhlaskan kecintaan kepada Allah semata dan inilah dasar dari peribadahan dan penghambaan bahkan itulah hakikat ibadah sebenarnya. Tidaklah sempurna tauhid sampai lengkap kecintaan hamba kepada Rabbnya, kecintaannya mendahului dan mengalahkan kecintaan kepada yang lainnya dimana kecintaan kepada yang lainnya mengikuti kecintaannya kepada Allah yang dengan itulah ia mendapatkan kebahagiaan dan keberuntungan.” (al-Qaulus Sadiid 1/116).

Macam-macam Kecintaan

a. Kecintaan khusus atau Ibadah

Yaitu kecintaan pada hati seseorang yang disertai dengan pengagungan dan ketundukan kepada orang yang dicintai. Kecintaan ini hanya khusus untuk Allah semata dan tidak boleh diberikan kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah dan orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).

b. Kecintaan Musytarakah (Umum),

di antaranya:

  1. Kecintaan Thobi’i (tabi’at) yaitu kecenderungan untuk menuruti kebutuhan tabiatnya sebagai manusia seperti cintanya orang yang kehausan terhadap air, orang lapar terhadap makanan, cinta kepada istri, cinta harta dan lainnya yang tidak ada unsur pengagungan.
  2. Kecintaan rahmah wa isyfaq (kasih sayang dan kasihan) seperti kecintaan kepada anak, orang lemah, sakit dan lainnya.
  3. Kecintaan ijlal wa taqdir (penghormatan dan penghargaan) yang bukan ibadah seperti kecintaan kepada orang tua, guru dan senior dan lainnya yang tidak ada unsur pengagungan.
  4. Kecintaan unsun wa ilfun (kesenangan dan kebersamaan) seperti kecintaan sesama karena bersama dalam profesi, ilmu, perdagangan dan lainnya.

Kecintaan di antara manusia ini tidaklah menjadikannya menyekutukan Allah (al-Qaulul Mufiid 2/21).

Kapankah Cinta Berbuah Maksiat dan Kesyirikan?

Jika kecintaan musytarakah yang diperbolehkan membuat seseorang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang maka menjadilah ia diharamkan dan apabila mengandung konsekwensi ibadah maka ia termasuk ibadah kepada selain Allah. (A’malul Qulub 1/186)

Bukankah kesyirikan pertama kali di muka bumi adalah karena cinta terhadap orang-orang sholih dengan pengagungan dan  ketundukan  sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh…?!

Berkata Ibnul Qoyyim: “Cinta terhadap gambar (patung) yang diharamkan dan mabuk cinta terhadapnya akan berbuah kesyirikan.” (Ighotsatul Lahafan hal. 513).

Berkata Syaikhul Islam: “Mereka para pencinta gambar adalah orang-orang yang paling keras adzabnya, paling sedikit pahalanya dan apabila hatinya terikat dengannya, menjadi budaknya maka akan berkumpul semua jenis kejelekan dan keburukan yang tidak bisa dihitung kecuali oleh Rabbnya para hamba.” (Jaami’ur Rosail 2/243-244).

Hukum Mabuk Cinta, mabuk Asmara (الْعِشْقُ)

Mabuk cinta adalah melampaui batas dalam bercinta dari keadaan yang wajar sehingga merusak hati dan tubuh (Jaami’ur Rosa’il, Syaikhul Islam 2/242).

Berkata Ibnul Qoyyim: “Kecintaan seorang hamba kepada Robbnya tidaklah dinamakan mabuk cinta karena ia adalah cinta yang melampaui batas dan seorang hamba tidak akan melampaui batas cintanya kepada Robbnya.” (Madarijus Salikin 3/16).

Berkata Para Ulama: “Berapa banyak orang-orang yang mabuk cinta telah berkorban harta, kehormatan, bahkan jiwa untuk orang yang dicintainya dan ia menyia-nyiakan kemaslahatan agama dan dunianya.” (Raudhatul Muhibbin hal. 197).

Berkata Ibnul Qoyyim: “Terkadang orang mabuk cinta menjadi kufur sebagaimana orang-orang yang mencintai tandingan selain Allah sama dengan mencintai Allah bagaimana lagi jika ia lebih mencintainya di dalam hati daripada mencintai Allah? Ini adalah mabuk cinta yang tidak diampuni pelakunya karena termasuk kesyirikan yang paling besar dan Allah tidak akan mengampuni jika diri-Nya disekutukan… Dan tanda-tanda mabuk cinta yang syirik lagi kufur adalah mendahulukan keridhaan yang dicintainya daripada keridhaan Rabbnya dan berusaha mencurahkan sesuatu yang paling berharga buat yang ia idolakan dan memberikan yang paling jelek buat Rabbnya serta berusaha dengan segala upaya menyenangkan yang dicintainya, menta’atinya, mendekatkan diri kepadanya dan hanya memberikan sisa-sisa waktunya untuk Rabbnya seandainya ia masih menta’ati-Nya.” (al Jawabul Kaafi hal. 490-491).

Pacaran, maksiat berbungkus “cinta”, Valentine, Syirik dipoles “cinta”

Beragam dosa yang ada pada pacaran mulai nadzhor (memandang) yang diharamkan, ikhtilath (campur baur laki perempuan) yang dilarang, khalwat (berduaan) yang digandrungi syaitan, zina hati dan seluruh tubuh dan seabrek pantangan syar’i lainnya. Pada taraf yang parah akan menjerumuskan ke dalam perbuatan syirik mahabbah (kecintaan).

Ken Sweiger dalam artikelnya: “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan bahwa kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti “Yang Maha Kuasa”, “Yang Maha Kuat”, dan “Maha Perkasa” maka jika kita meminta orang menjadi “to be my valentine” (jadilah Valentinku) maka termasuk perbuatan yang dimurkai Tuhan…”. Lalu bagaimana lagi dari kaca mata Islam? Bukankah ini Syirik Akbar..?!!

Maka hendaknya para orang tua muslim takut kepada Allah dan tidak membiarkan putra putrinya terjun di dalam kubangan yang dimurkai Allah Ta’ala ini. Wallahul Muwaffiq.

***

Ust. Abu Bakr al-Atsary

(Pengajar di Ponpes Abu Hurairah Mataram)