Allah Subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan bahwa terburu-buru menyebarkan berita adalah ciri orang-orang munafik dan lemah iman. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka (artinya):

“Apabila datang kepada mereka berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyebarkannya.” [QS. An-Nisa`: 83].Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini:

“Ini adalah peringatan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya atas perbuatan tidak layak mereka ini. Seharusnya, ketika datang kepada mereka sebuah berita tentang perkara penting dan urusan yang menyangkut orang banyak yang terkait keamanan dan kebahagian orang-orang mukmin ataupun yang terkait rasa takut yang dapat mendatangkan musibah kepada mereka, agar berhati-hati dan tidak tergesa menyebarkannya.” [Tafsir as-Sa’di].

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengingatkan:

“Janganlah terburu-buru (menyebarkan berita), menjadi corong, dan menjadi penyebar. Karena di belakang kalian ada musibah yang berat dan luas serta perkara-perkara yang keras dan besar.” [Al-Adab al-Mufrad].

Bagaimana Berhati-hati Terhadap Berita?

Pertama; jangan baca atau dengar setiap berita, tetapi pilih sumber yang terpercaya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Wahai orang-orang mukmin! Jika seorang fasiq membawakan berita kepada kalian maka telitilah kebenarannya. Agar kalian tidak mencelakakan orang lain karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kalian akan menyesal atas apa yang telah kalian lakukan.” [QS. Al-Hujurat: 6].

Kedua; jangan menerima mentah semua berita.

Allah Subhanahu wa ta’ala telah menegur orang-orang mukmin ketika sebagian mereka menerima mentah berita (isu) tentang Aisyah radhiyallahu ‘anha yang sengaja disebarkan oleh orang-orang munafik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Tidakkah mereka mendatangkan empat saksi untuk membuktikannya?!” [QS. An-Nur: 13].

Tidak sepantasnya seorang muslim menjadi pendengar setiap teriakan. Melainkan harus berhati-hati dan teliti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بِئْسَ مَطِيَّةُ الرَّجُلِ زَعَمُوْا

“Seburuk-buruk kendaraan seseorang adalah (ucapan): ‘kata mereka’.” [HR. Ahmad].

Ketiga; tinggalkan berita yang tidak penting untuk aqidah, ibadah, dan duniamu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Termasuk (tanda) bagusnya agama seseorang, dia meninggalkan apa yang tidak penting baginya.” [HR. Tirmidzi].

Keempat; kedepankan baik sangka kepada saudara muslim.

Yaitu, ketika sebuah berita berisikan tuduhan yang menyudutkan seorang muslim. Hendaknya dia memposisikan seorang muslim seperti dirinya sendiri. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan dalam al-Qur`an (artinya):

“Tidakkah ketika kalian mendengar berita itu agar orang-orang mukmin yang laki-laki dan perempuan berprasangka baik pada dirinya dan mengatakan, ‘Ini adalah kedustaan yang nyata.’” [QS. An-Nur: 12].

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman (artinya):

“Tidakkah ketika mendengarnya kalian mengatakan, ‘Tidak pantas bila kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau! Ini adalah kedustaan yang besar.’” [QS. An-Nur: 16].

Kelima; jangan menyebarkan berita – sekalipun benar – sebelum memastikan kelayakannya.

Karena tidak setiap berita tepat untuk diberitakan, sekalipun berita tersebut benar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan setiap yang dia dengar.” [HR. Muslim].

Keenam; jangan turut menyebarkan berita buruk.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Sungguh orang-orang yang mengiginkan tersebarnya kekejian di tengah orang-orang mukmin, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” [QS. An-Nur: 19].

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:“Orang yang memberitakan kekejian (pertama kali) dan yang menyebarkannya adalah sama dalam dosa.” [Al-Adab al-Mufrad].

Ketujuh; berkonsultasi kepada ahlinya.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Sekiranya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.” [QS. An-Nisa’: 83].

(Yaitu) agar mereka mengembalikan urusan itu kepada Rasulullah dan para ahli yang mengerti urusan tersebut dan yang mengerti maslahat dan sebaliknya. Jika menurut mereka, menyebarkannya akan mendatangkan maslahat, semangat, dan kebahagiaan bagi orang-orang mukmin serta akan menyelamatkan mereka dari musuh, maka silahkan mereka lakukan. Tapi, jika menurut mereka tidak ada maslahatnya atau ada maslahatnya namun keburukannya lebih besar dari maslahatnya, maka mereka tidak boleh menyebarkannya. [Tafsir as-Sa’di].

Bahaya Tidak Berhati-Hati Terhadap Berita

Di antaranya dapat melemahkan iman dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dapat mendatangkan kesedihan ke dalam hati orang-orang mukmin, rasa takut, dan rasa malas. Di antaranya dapat merusak keharmonisan keluarga dan masyarakat. Begitu juga menyebabkan ghibah dan kebohongan merebak di antara manusia. Dan tidak jarang berita-berita tersebut sengaja dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk menyesatkan dan melalaikan umat Islam dari tugas utama mereka.

Sebagai contoh apa yang terjadi pada para sahabat yang berhijrah ke Habasyah. Mereka di sana hidup dengan aman. Kemudian tersebar berita bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Maka sebagian mereka bergegas meninggalkan Habasyah dan pulang ke Makkah sekalipun harus dengan perjuangan berat. Ketika sampai di Makkah ternyata berita tersebut bohong. Akhirnya sebagian mereka kembali lagi ke Habasyah, dan sebagian lagi memilih diam sekalipun harus menerima berbagai siksaan dan gangguan.

Contoh lain adalah fitnah yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tokoh munafiq bernama Abdullah bin Ubay menghembuskan fitnah yang keji. Tuduhan zina. Dan sampai hari ini masih dipercayai oleh orang-orang Syi’ah. Padahal al-Qur`an sebanyak sepuluh ayat dalam Surat an-Nur telah turun menyatakan bersihnya Aisyah dari tuduhan tersebut.

Berita tersebut sempat beredar selama satu bulan penuh sebelum turunnya al-Qur`an. Berita tersebut telah membuat keluarga nabi dan juga para sahabat sedih dan dirundung galau.

Semua itu disebabkan karena tidak berhati-hati terhadap berita ketika menyebarkannya dan tidak teliti ketika mendengarnya.

Wallahu A’lam

 

***

Oleh: Ust. Jamaludin, Lc

(Staf Pengajar Ponpes Abu Hurairah Mataram)