Pembaca yang mulia, shalat mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu tingginya kedudukan shalat sehingga Allah menjadikan ibadah yang satu ini sebagai ibadah pertama yang akan diperiksa kelak pada yaumul hisab. Nabi menyatakan dalam sebuah hadits:

Artinya: “Sesungguhnya hal pertama yang akan Allah periksa pada hamba di hari kiamat adalah shalat wajibnya…” (HR. Ibnu Majah: 1425, dishahihkan oleh al-Albani).

Shalat merupakan batas pemisah antara keimanan dan kekufuran, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah MENINGGALKAN SHALAT.” (HR. Muslim: 134)

Atas dasar ini, sangat penting bagi setiap muslim untuk memperhatikan shalatnya. Sudahkah ia amalkan dengan ikhlas? Sudahkah syarat-syarat, rukun-rukun, dan sunnah-sunnah shalat ia tunaikan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan agar shalatnya tidak hanya menyisakan kelelahan tanpa pahala? Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menuntun kita dengan sabdanya:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari: 6008)

Pada edisi kali ini mari sejenak kita mengkaji poin-poin penting mengenai syarat sah shalat. Semoga Allah memberikan kita taufiq untuk dapat mendirikan shalat sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syarat-syarat Sah Shalat

Syarat sah shalat adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum shalat agar shalat tersebut sah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Syarat-syarat sah shalat ada lima, yaitu:

  1. Bersuci

Bersuci adalah mengangkat hadats kecil atau besar dan menghilangkan najis dari tubuh dan pakaian. Hadats kecil akan terangkat dengan wudhu, hadats besar akan terangkat dengan mandi janabah, adapun najis akan hilang dengan mencucinya dengan air suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةً إِلَّا بِطُهُور

“Allah tidak menerima shalat kecuali dengan bersuci.” (HR. Ibnu Majah: 171, dishahihkan oleh al-Albani).

  1. Menutup Aurat

Wajib menutup aurat ketika shalat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِـخِمَارٍ

“Allah tidak menerima shalat wanita haidh (maksudnya: wanita baligh) kecuali dengan menggunakan penutup kepala (jilbab).” (HR. Ibnu Majah: 655, dishahihkan oleh al-Albani).

Aurat yang wajib ditutup bagi laki-laki adalah bagian tubuh mulai dari pusar sampai lutut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Artinya: “Anggota tubuh antara pusar dan lutut adalah aurat.” [HR. At-Thabarani: 7761 pada kitab al-Mu’jam al-Ausath, dihasankan oleh al-Albani].

Dan  diriwayatkan pula dari Abdullah bin Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (Artinya):

“sesungguhnya paha adalah aurat.” [HR. At-Tirmidzi: 2795, dishahihkan oleh al-Albani].

Laki-laki juga diperintahkan untuk menutup kedua pundaknya ketika shalat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُصَلِّ أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ

“Janganlah salah seorang dari kalian shalat dengan satu kain/pakaian yang tidak menutupi kedua pundak.” [HR. Abu Dawud: 626, dishahihkan oleh al-Albani].

Adapun wanita maka seluruh tubuhnya adalah aurat yang harus ditutup, baik ketika shalat maupun diluar shalat kecuali wajah dan telapak tangan. Allah berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya….” (QS. An-Nur: 31)

Perhiasan yang dimaksud adalah seluruh anggota tubuh dan termasuk anggota tubuh yang biasa menggunakan perhiasan (seperti leher, pergelangan tangan, dll.). Pengecualian wajah dan telapak tangan didasarkan pada firman Allah: “kecuali yang (biasa) nampak.” Maksudnya adalah wajah dan telapak tangan sebagaimana yang diungkapkan oleh mayoritas ulama (dapat dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir mengenai penjelasan ayat di atas)

  1. Tempat yang Suci

Sebagaimana tubuh dan pakaian harus suci ketika shalat, demikian juga tempat shalat. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat untuk menyiram bekas kencing orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, beliau mengatakan:

دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

“Biarkanlah (orang badui ini menyelesaikan kencingnya), dan tumpahkanlah di atas kencingnya satu ember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan manusia, bukan untuk menyusahkan mereka” (HR. Bukhari: 220)

  1. Masuk Waktu

Shalat fardu tidak sah bila didirikan sebelum tiba waktunya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)

  1. Menghadap Kiblat

Wajib bagi orang yang shalat untuk menghadap kiblat. Allah berfirman:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memerintahkan untuk menghadap kiblat ketika shalat. Beliau menyatakan:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Apabila engkau bangkit untuk shalat maka sempurnakanlah wudhu’mu, lalu menghadaplah kiblat, lalu bertakbir. Kemudian bacalah ayat-ayat al-Qur’an yang mudah bagimu.” (HR. Ibnu Majah: 1060, dishahihkan oleh al-Albani).

Wallahu a’lam.

***