Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu’anhuma ia berkata, “Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

…وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ، فَإِنَّمَـا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّيْنِ

“… Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama.” [Hadits shahih, lih. Silsilah ash-Shahîhah no. 1283].

Syarah Hadits:

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan ummatnya dari sikap ghuluw karena ia adalah sebab kehancuran dan kebinasaan. Bahkan ghuluw menyebabkan manusia bisa menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka.

Di antara bentuk ghuluw, yaitu sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih dengan mengagungkan mereka, membangun kubur-kubur mereka, membuat patung-patung yang menyerupai mereka, bahkan sampai akhirnya mereka disembah.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah penyakit pertama yang paling besar yang terjadi pada kaum Nûh ‘alaihissallam, sebagaimana Allâh subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Qur’ân, Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya) :

“Nuh berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr. Dan sungguh, mereka telah menyesatkan orang banyak; dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” [Nûh/71:21-24]”[Ighâtsatul Lahfân I/346-347]

Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu’anhuma berkata tentang ayat ini: “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nûh (kemudian) diwarisi oleh orang-orang Arab setelah itu…, mereka (Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr), sebenarnya adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nûh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka, agar mereka mendirikan patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka, dan menamai patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.” [al-Bukhâri no. 4920]

Hadits ini menunjukkan peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari sikap ghuluw dan segala sarana yang membawa kepada kesyirikan, walaupun itu semua ditujukan untuk kebaikan. Karena sesungguhnya setan memasukkan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih, berlebihan dalam mencintai mereka, sebagaimana yang terjadi juga dalam ummat ini. Setan menampakkan kepada mereka bid’ah-bid’ah dan ghuluw dalam mengagungkan dan mencintai orang-orang shalih, agar mereka terjatuh pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu beribadah, berdoa, meminta tolong di saat sulit kepada orang-orang shalih tersebut dan menyekutukan Allâh subhanahu wa ta’ala.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu’anhuma bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu’anhuma menceritakan kepada Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habasyah (Ethiopia). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ ، أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكِ شِرَارُ الْـخَلْقِ عِنْدَ اللهِ.

“Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal, mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allâh .”[HR. al-Bukhari & Muslim]

Mereka itu membuat rupaka (patung) orang-orang terdahulu untuk mengikuti (mencontoh) mereka dengannya dan mengingat perbuatan-perbuatan shalih mereka agar dapat bersungguh-sungguh seperti kesungguhan mereka, serta beribadah kepada Allâh subhanahu wa ta’ala di sisi kubur-kubur mereka. Kemudian setelah mereka, hiduplah kaum yang bodoh (tidak tahu) apa tujuan mereka (membuat rupaka tersebut), akhirnya setan membisikkan kepada mereka bahwa orang-orang sebelum mereka menyembah rupaka-rupaka tersebut dan mengagungkannya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dari hal yang semacam itu untuk mencegah sarana yang dapat menyebabkan penyembahan kubur tersebut.[Fat-hul Majîd li Syarh Kitâbit Tauhîd, I/386]. “Mereka itulah sejelek-jelek makhluk,” karena amalan mereka mengantarkan mereka kepada perbuatan kufur dan syirik.[Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata: “Maka mereka itu mengumpulkan dua fitnah sekaligus: fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka.”[Ighâtsatul Lahfân (I/348) ]

Beliau rahimahullah juga berkata: “Sebab ini –yang karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk membangun masjid di atas kuburan- telah terjadi pada banyak umat, dalam syirik besar, ataupun dalam syirik yang lainnya. Karena sesungguhnya jiwa itu telah menyekutukan Allâh subhanahu wa ta’ala dengan rupaka-rupaka (patung-patung) orang shalih dan rupaka yang mereka sangka bahwa itu adalah jimat dan yang semacamnya. Melakukan syirik di kuburan orang shalih yang telah diyakini keshalihannya lebih diterima oleh jiwa daripada syirik dengan kayu atau batu. Karena inilah, engkau mendapati bahwa orang yang melakukan syirik mereka merendahkan diri, khusyu’ dan tunduk di sisinya, mereka juga beribadah dengan sepenuh hati mereka, yang ibadah tersebut tidak mereka lakukan di baitullah maupun di waktu sahur (sepertiga malam)…

Karena kerusakan inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghancurkan unsur tersebut, sampai melarang untuk shalat di kubur secara mutlak, walaupun orang yang shalat itu tidak bermaksud untuk mendapat berkah dengan shalatnya sebagaimana orang yang bermaksud mendapat keberkahan masjid dengan shalatnya itu… ”[Iqtidhâ’us Shirâtil Mustaqîm (II/192-193)]

Termasuk dari sikap ghuluw juga yaitu berlebihan dan melampaui batas dalam menyanjung Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allâh, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam .Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):

Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ”Abdullâh wa Rasûluhu (hamba Allâh dan Rasul-Nya).’”[HR. Bukhari].

***

(Diringkas dari tulisan Ust. Yazid bin Abdul Qodir Jawwas)

Sumber: almanhaj.or.id