Jangan pernah menganggap; Ramadhân sebatas “festival ibadah” musiman atau “ajang mujâhadah” tahunan, yang berakhir dengan terbitnya hilal Syawwâl. Apa yang kemarin kita anggap sebagai akhir puasa, sejatinya adalah awal. Apa yang saat ini kita anggap sebagai hari kemenangan, pada hakikatnya adalah babak baru perjuangan. Ya, tantangan sesungguhnya adalah pada hari-hari ke depan, dimulai hari ini. Benar, pertempuran sebenarnya melawan syaitan dan hawa nafsu jiwa adalah pada detik demi detik ke depan, pasca Ramadhan.

Ramadhân adalah madrasah imâniyyah, tempat kita mengisi bekal bagi jiwa, menempa hati dan menjinakkan nafsu, agar senantiasa bisa mengakui kedudukannya sebagai hamba Allâh subhanahu wa ta’ala yang hina, yang senantiasa berada dalam kefaqiran terhadap rahmat dan ampunan-Nya.

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (dan menghamba) hanya kepada-Ku.” [QS. Adz-Dzâriyât: 56]

Ramadhân ibarat siklus tahunan tempat kita merehatkan jiwa dan nafsu untuk kemudian dibersihkan dari noda dan karat, lalu disegarkan dan dihiasi, agar kembali pada tujuan asal penciptaannya. Yaitu mewujudkan ‘ubûdiyyah (penghambaan) pada Allâh subhanahu wa ta’ala. Maka hamba-hamba yang sukses di bulan Ramadhân, pada hakikatnya adalah mereka yang istiqomah di luar Ramadhân dalam ‘ubûdiyyah.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Rabb kami adalah Allâh subhanahu wa ta’ala, lantas mereka istiqomah (di atas tauhid dan sunnah), maka (dijamin) tidak ada rasa takut bagi mereka (menghadapi kedahsyatan dan kengerian di akhirat) dan tidak pula mereka bersedih (atas apa-apa yang mereka tinggalkan di dunia setelah mereka wafat).” [QS. Al-Ahqâf: 13, at-Tafsïrul Muyassar]

Sungguh membahagiakan, bisa melihat kaum muslimin berlomba-lomba melakukan ketaatan di bulan Ramadhân. Syiar-syiar ketakwaan, alhamdulillâh, begitu tampak di bulan yang penuh rahmat tersebut. Sungguh akan sangat memalukan jika tiba-tiba hari ini, kita kembali pada kebiasaan lama, kembali bermaksiat, kembali mendurhakai Allâh subhanahu wa ta’ala, kembali memutus ikatan janji ketaatan kepada-Nya, yang telah kita ikrarkan di bulan Ramadhân saat kita bersimpuh hina di hadapan-Nya:

“Dan janganlah kamu seperti seorang wanita yang menguraikan benang (janji) yang sudah dipintalnya dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.…” [QS. An-Nahl: 92]

Kepada mereka, hanya kalimat salaf ini yang layak untuk diucapkan:

بِئْسَ الْقَوْمِ-وَاللهِ-اَلَّذِيْنَ لَا يَعْرِفُوْنَ اللهَ إِلَّا فِيْ رَمَضَانَ

“Seburuk-buruk kaum—Demi Allâh subhanahu wa ta’ala —adalah mereka yang tidak mengenal Allâh Y kecuali hanya di bulan Ramadhân saja.”

Mereka inilah, sekumpulan orang yang Allâh tidak sudi menerima tangisan—palsu—mereka saat Ramadhân. Mereka inilah, segerombolan orang yang Allâh subhanahu wa ta’ala enggan menerima amal mereka ketika Ramadhân. Karena tanda diterimanya amal-amal Ramadhân dari seorang hamba, tercermin dari keistiqomahannya pasca Ramadhân. Dahulu sebagian salaf mengungkapkan:

إِنَّ مِنْ عُقُوْبَةِ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا.

“Di antara hukuman atas suatu kemaksiatan, adalah kemaksiatan yang terjadi setelahnya. Dan di antara ganjaran atas kebajikan (yang diterima oleh Allâh subhanahu wa ta’ala) adalah kebajikan yang terlahir setelahnya.” [dinukil oleh Ibnul Qayim dalam al-Jawâbul Kâfi: 36]

Al-Hasan al-Bashri rahimahullâh pernah berkata:

فَإِذَا قَبِلَ اللهُ الْعَبْدَ، فَإِنَّهُ يُوَفِّقُهُ إِلَى الطَّاعَةِ وَيَصْرِفُهُ عَنِ الْمَعْصِيَةِ

“Manakala Allâh subhanahu wa ta’ala menerima amal seorang hamba, maka Dia akan memberikannya taufik untuk (lagi) melakukan ketaatan, dan Dia akan memalingkannya dari kemaksiatan.”

Beliau juga berkata:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنْ لَمْ تَكُنْ فِيْ زِيَادَةٍ، فَأَنْتَ فِيْ نُقْصَان

“Wahai anak Adam, jika engkau tidak berada dalam peningkatan (amal dan ketakwaan), maka sejatinya engkau sedang mengalami degradasi (penurunan).”

Puasa Syawwal, Bukti Awal

Manakala kita mengetahui bahwa amal shalih yang diterima Allâh subhanahu wa ta’ala, akan melahirkan amal-amal shalih berikutnya, maka pantaslah jika kita katakan bahwa puasa 6 hari di bulan Syawwal adalah bukti awal kesuksesan seorang hamba di bulan Ramadhân. Insya Allâh subhanahu wa ta’ala, dengan taufik dan bimbingan-Nya, hamba tersebut akan terlahir kembali menjadi insan yang istiqomah.

Puasa Syawwâl adalah sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Ayyûb al-Anshâri radhiallâhu’anhu, Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan, kemudian dia sempurnakan dengan puasa enam hari di bulan Syawwâl, maka pahalanya setara dengan puasa setahun penuh.” [HR. Muslim]

Dalam hadits lain Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ: (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا). ” وَفِي رِوَايَةٍ: ” جَعَلَ اللهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَشَهْرٌ بِعَشْرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةَ أَيَّامٍ تَمَامُ السَّنَةِ ”  وَرَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ بِلَفْظٍ: ” صِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بِشَهْرَيْنِ فَذَلِكَ صِيَامُ السَّنَةِ

“Barangsiapa berpuasa 6 hari setelah ‘Idul Fihtri, maka itu seperti puasa setahun penuh. Karena; ‘barangsiapa mengerjakan 1 kebajikan, maka dia akan memperoleh 10 kali lipat ganjaran kebajikan’.” [HR. an-Nasâ-i, Ibnu Mâjah, Shahïhut Targhïb wa Tarhïb: 1/421].

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah disebutkan; ‘Allâh subhanahu wa ta’ala telah menjadikan 1 kebajikan bernilai 10 kebajikan, kebajikan 1 bulan sama dengan kebajikan selama 10 bulan. Atas dasar ini, puasa selama 6 hari—akan menyempurnakan puasa Ramadhan sehingga nilainya—sama dengan puasa setahun penuh.

Perhitungannya adalah; jika 1 bulan = 29 atau 30 hari, maka puasa Ramadhân setara dengan 10 x 29 (atau 30) = 290 atau 300 hari, ditambah dengan puasa 6 hari Syawwâl (6 x 10 = 60), totalnya menjadi 350 atau 360 hari. Dalam kalender Islam, kisaran 350 sampai dengan 360 hari boleh dikata setara dengan 1 tahun.

Jika hendak dianalogikan, puasa Syawwâl ibarat shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu, yang menambal cacat dan cela pada shalat fardhu yang telah kita lakukan. Tentu, selama menjalankan puasa Ramadhân, kita tidak lepas dari ketergelinciran yang mengurangi nilai puasa kita. Nah, dengan rahmat-Nya, Allâh subhanahu wa ta’ala berkenan menganugerahkan kita puasa Syawwâl untuk menutupi kekurangan tersebut.

Semoga kita diberikan taufik untuk tetap istiqomah di atas ketaatan. Semoga pasca Ramadhan tahun ini, penghambaan kita kepada Allah bisa lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya.

***

Penyusun: Ustadz Abu Ziyan Halim

(Pimpinan Redaksi)