Salah satu surat yang memiliki keutamaan yang sangat luar biasa adalah surat al-Ikhlas. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَد
Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. [QS. al-Ikhlas: 1-4)
Keutamaan surat al-Ikhlas
1. Orang yang membaca surat ini akan mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki memimpin sekelompok pasukan, (ketika mengimami shalat) dia biasa membaca di dalam shalat jama’ah mereka, lalu menutup dengan ” قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ”. Ketika mereka telah kembali, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau berkata: “Tanyalah dia, kenapa dia melakukannya!” Lalu mereka bertanya kepadanya, dia menjawab: “Karena surat ini merupakan sifat ar-Rahmaan (Allâh Yang Maha Pemurah), dan aku suka membacanya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allâh Ta’ala mencintainya.” [HR. al-Bukhari & Muslim]
2. Setara dengan sepertiga Al Qur’an.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Apakah seseorang dari kamu tidak mampu membaca sepertiga al-Qur’ân di dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seseorang (mampu) membaca sepertiga al-Qur’ân (di dalam satu malam)?” Beliau bersabda: “Qul Huwallaahu Ahad sebanding dengan sepertiga al-Qur’ân.” [HR. Muslim ]
3. Penyebab masuk ke dalam surga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mendengar seseorang membaca:
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah wajib,” aku bertanya: “Apa yang wajib?” Beliau bersabda, “(Telah wajib baginya) Surga.” [HR. Tirmidzi, Shahih]
4. Terkabulnya do’a seorang hamba apabila dimulai dengan penyebutan sifat-sifat Allah Ta’ala yang ada di dalam surat ini.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berdo’a: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan bersaksi bahwasanya Engkau adalah Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Engkau Dzat yang satu, Dzat yang semua makhluk meminta kepada-Mu, Dzat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada yang setara dengan-Nya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh laki-laki ini telah meminta kepada Allah Ta’ala dengan nama-Nya yang agung yang apabila seseorang berdo’a dengan sifat-sifat ini maka Allah Ta’ala kabulkan dan apabila meminta dengan menyebutkan sifat-sifatNya maka Allah Ta’ala berikan.” (HR. Ibnu Majah & Tirmidzi, shahih).
Sebab turunnya surat Al ikhlas
Ayat ini turun karena orang-orang musyrik berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebutkan nasab Rabbmu kepada kami!”, maka Allâh menurunkan surat al-Ikhlas. [HR. Tirmidzi & Ahmad. Hasan]
Tafsir surat Al ikhlas
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dialah Allah, yang Maha Esa”.
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan : Maha Esa tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak memiliki istri ataupun anak, dan tidak ada sekutu baginya.” [Aljami’ liahkamil Qur’an 20/244]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Yakni Dia yang pertama dan Esa, tidak ada tandingan dan pembantu, tidak ada yang setara dan tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan tidak ada yang sebanding (dengan-Nya). Kata ini (ahad) tidak digunakan untuk siapapun selain Allâh Ta’ala, karena Dia Maha Sempurna dalam seluruh sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsir 8/497]
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah sesembahan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”
ash-Shamad merupakan salah satu asmaul husna yang dimiliki Allah Ta’ala. Para ulama salaf memiliki tafsiran yang beraneka ragam tentang makna ash-Shamad, namun tafsiran- tafsiran tersebut sama sekali tidak bertentangan, akan tetapi saling melengkapi. Di antara tafsiran tersebut:
- Yang maha bergatung kepada-Nya seluruh makhluk dalam segala kebutuhan dan permohonan mereka (Tafsiran Ibnu Abbas).
- Penguasa yang kekuasaan-Nya sempurna, Maha Mulia yang kemuliaan-Nya sempurna; Maha Agung yang keagungan-Nya sempurna; Maha Sabar yang kesabaran-Nya sempurna; Maha Mengetahui yang ilmu-Nya sempurna; Maha Bijaksana yang kebijaksanaan-Nya sempurna (tafsiran Ibnu Abbas riwayat dari Ali bin Abi Thalib).
- Yang Maha Hidup, Maha berdiri sendiri dan mengurusi yang lain, yang tidak akan binasa. (Ini tafsiran al-Hasan).
- Maha Kekal dan Abadi
- Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (tafsiran Ubay bin Ka’ab). Masih banyak pendapat yang lainnya. [lih. Tafsir Ibnu Katsir 8/497 dan Zadul Masir 4/505, tafsir al Qurthuby 20/245].
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Maknanya adalah Allah Ta’ala tidak butuh anak, tidak butuh orangtua atau istri. Disebabkan sempurnanya kekayaan Allah Ta’ala. Dan dikarenakan tidaklah sesuatu yang dilahirkan melainkan akan mati dan dan tidaklah sesuatu yang mati melainkan diwarisi (orang lain).
Imam Muqotil mengatakan : ”Tidak beranak kemudian mendapat warisan.” Kalimat (وَلَمْ يُولَدْ) maksudnya adalah tidak disekutui, karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah Ta’ala. Kaum Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah Ta’ala. Sedangkan orang-orang kristen mengatakan bahwa al-Masih (Nabi Isa ‘alaihissalam) adalah anak Allah Ta’ala. Dengan ayat ini, Allah Ta’ala berlepas diri dari perkara tersebut. [Zadul masir 4/506]
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Maksudnya dari ayat yang mulia ini adalah tidak ada yang menyerupai Allah Ta’ala, tiada yang sebanding dan setara dengan-Nya, maka Allah Ta’ala meniadakan diri-Nya dari memiliki istri dan anak atau dilahirkan sehingga memiliki orang tua. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Allah Ta’ala tidak beranak dan tidak diperanakkan dikarenakan tidaklah sesuatu yang mati melainkan akan diwarisi (orang lain), dan Robb kita tidak mati dan tidak akan mewariskan, tidak ada yang setara, sama dan sebanding bagi Allah.” [HR. Tirmidzi, Shahih].
Wallahu A’lam
***
Oleh: Ust. Dahrul Falihin, Lc.
(Pengajar di Ponpes Abu Hurairah)
Komentar Terbaru