Nabi sekitar 14 abad silam mengabarkan kedatangan para mujaddid (pembaharu) di tengah-tengah umat Islam, beliau bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada setiap permulaan seratus tahun orang-orang yang memperbaharui agama.” [HR. Abu Dawud: 4291, dishahihkan oleh al-Albani]

Makna “memperbaharui agama” pada hadist ini adalah membersihkan agama dari noda-noda pemikiran yang menempel pada agama Islam dengan cara memperkenalkan ajaran-ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang valid. Imam Ahmad mengatakan:

إِنَّ اللهَ يُقيِّضُ لِلنَّاسِ فِي رَأْسِ كُلِّ مِئَةٍ مَنْ يُعَلِّمُهُمُ السُّنَنَ وَيَنْفِي عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْكَذِبَ

“Sesungguhnya Allah mempersiapkan bagi manusia pada setiap permulaan seratus (tahun) orang yang mengajari mereka sunnah-sunnah Nabi dan membabat kedustaan atas nama Rasulullah”. [Tawaali at-Ta’sis: 48]

Setelah menyatakan perkataan ini, beliau melanjutkan: “ternyata pembaharu pada seratus tahun pertama adalah Umar bin Abdul ‘Aziz dan pada seratus tahun kedua adalah asy-Syafi’i.” [Tawaali at-Ta’sis: 48]

Madzhab Syafi’i -sebagaimana diketahui bersama- merupakan madzhab yang tersebar dan terbesar di Indonesia. Akan tetapi kenyataan yang disaksikan, banyak dari masyarakat muslim Indonesia melupakan pernyataan-pernyataan Imam Syafi’i yang menunjukkan kuatnya beliau dalam berpegang dengan al-Kitab dan as-Sunnah.

Pada artikel ini, kami akan mengulas beberapa pernyataan Imam asy-Syafi’i yang dilupakan atau mungkin banyak tidak diketahui oleh umat Islam di Indonesia.

1. Berpegang dengan hadits shahih.

Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa hadits shahih adalah pendapat beliau yang terpilih.

إِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“Apabila terbukti keshahihan sebuah hadits maka (hadits) itulah yang menjadi madzhabku (pendapatku)” [lihat: Ashlu Sifat Shalat Nabi, Nashiruddin al-Albani, 29.]

Hal ini hendaklah menjadi perhatian umat Islam sekalian. Selektif dalam berdalil dengan hadist harus ditanamkan. Karena begitu banyak hadits-hadits lemah, sangat lemah, tidak ada asal-usulnya, bahkan palsu yang beredar di tengah-tengah umat. Menyandarkan suatu ucapan kepada Nabi sedangkan beliau tidak pernah mengatakannya adalah perbuatan dosa. Nabi bersabda:

مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barang siapa yang berbicara atas namaku dengan ucapan-ucapan yang tidak pernah aku ucapkan, hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” [HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Albani]

Maka wajib bagi kita sekalian untuk melandaskan segala hal dalam agama ini, baik aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah dan lain-lain dengan al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Imam asy-Syafi’i berkata: “Apapun pendapat yang aku utarakan atau kaidah yang aku buat, akan tetapi (pendapat dan kaidah) itu bertentangan dengan sabda Nabi. Maka yang benar adalah sabda Nabi, dan sabda itulah yang menjadi pendapatku.”

2. Wajibnya merujuk kepada Salaf dalam masalah aqidah.

Ini merupakan perkara yang populer di kalangan ulama. Menjadikan pemahaman salaf (Sahabat Nabi) sebagai standar dalam memahami permasalahan agama -termasuk akidah- adalah wajib. Karena merekalah yang paling memahami al-Qur’an dan hadits setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menjauh dari jalan dan pemahaman para Salaf akan menjerumuskan seseorang pada kebinasaan, Allah berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisaa’: 115]

“Orang-orang mukmin” ketika turunnya ayat ini adalah Sahabat Nabi. Imam Syafi’i dahulu menyatakan: “Mereka (yaitu para Sahabat) menyaksikan Nabi saat wahyu turun kepadanya. Sehingga mereka paling mengetahui maksud Rasulullah…pendapat-pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama bagi kita daripada pendapat kita sendiri.” [lihat: Manhaj Salafi Imam Syafi’i, Abu Ubaidah Yusuf, hal. 32-33.]

3. Terlarangnya berbuat hal-hal baru dalam agama.

Hal-hal baru dalam agama biasa disebut bid’ah. Nabi bersabda: “Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [HR. Abu Dawud: 4607, dishahihkan al-Albani]. Imam Syafi’i pun mengikuti jejak Nabi ini. Beliau memperingatkan umat dari perkara-perkara bid’ah dalam agama, beliau mengatakan: “Saya wasiatkan dengan takwa kepada Allah dan berpegang teguh dengan sunnah dan atsar (hadits) Nabi dan para Sahabatnya, serta meninggalkan dan menjauhi kebid’ahan dan hawa nafsu” [Manhaj Salafi Imam Syafi’i, 98.]

Wallahu a’lam

***

Penyusun: Ustadz Muhammad Firman Ariyansyah, Lc.