Syaikh, ustadz, guru, atau apapun sebutan dan istilahnya, mengambil peranan sangat penting dalam menentukan arah pemikiran dan metode beragama seseorang. Inilah yang terlihat dalam perkataan para ulama salaf, semisal Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Sirin, Malik bin Anas, dan lainnya tentang pentingnya memilih guru.

Misalkan Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan,

إِنَّ هَذَا العِلمَ دِينٌ فَانظُرُوا عَمَّن تَأخُذُونَ دِينَكُم

“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah pada siapa kalian belajar agama kalian.” (Shahih Muslim)

Apa kriteria orang yang dijadikan sebagai guru?

1. Guru Yang Berakidah Benar!

Kriteria pertama dan utama adalah belajar kepada syaikh ataupun ustadz yang memiliki akidah benar dan yang mengikuti jejak salafusshalih. Seseorang tidak akan mendapatkan akidah yang benar dan manhaj (metode beragama) yang lurus kecuali dengan belajar kepada ahlinya, serta meninggalkan ahli bid’ah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya): “Jika engkau melihat orang-orang yang mentakwil ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah hingga mereka membicarakan yang lain.” [QS. Al-An’am: 68]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kamu mendapatkan orang-orang yang sengaja mencari ayat-ayat yang mutasyabhihat, itulah orang-orang yang disebut oleh Allah (dalam al-Qur`an), maka waspadalah terhadap mereka.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Berkata Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah: “Tiga orang tidak boleh belajar kepadanya: seorang pendusta, ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya, dan orang yang banyak lupa dan salah.” (Syarah Ilal at-Tirmidzi)

2. Guru Yang Ahli Agama

Syaikh dan ustadz yang dijadikan sebagai guru seharusnya orang yang ahli dalam agama. Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Sangat mengherankan! Sekiranya ada orang mengklaim dirinya mengerti keahlian tertentu dalam urusan dunia, sementara masyarakat tidak mengenalnya ahli dalam hal itu, juga tidak melihatnya memiliki sarana-sarananya, mereka pasti akan mendustakannya, tidak mengamanatkan harta mereka kepadanya, dan bahkan tidak mengizinkannya melakukan praktek dalam keahlian yang diklaimnya! Lalu bagaimana dengan orang yang mengklaim mengerti Sunnah Rasul, sementara dia tidak pernah terlihat mempelajarinya dan tidak pernah belajar kepada ahlinya?!” (Al-Hikam al-Jadirah bil Idza’ah)

Allah Ta’ala berfirman: “Bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl: 43]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia begitu saja. Tetapi Allah akan mencabut ilmu itu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa seorang alim, maka manusia akan mengangkat pemuka-pemuka yang (sebenarnya) jahil, lalu mereka ditanya dan merekapun memberikan fatwa (jawaban), sehingga mereka sendiri tersesat serta menyesatkan (orang lain).” [HR. Muslim].

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidak boleh belajar kecuali pada orang yang sempurna keahliannya, tampak ketaatannya, terbukti pengetahuannya, dan dikenal menjaga diri.” (At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur`an)

3. Guru Yang Bertakwa Kepada Allah

Diceritakan oleh Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, bahwa generasi salaf tidak akan belajar kecuali kepada orang yang dikenal takut kepada Allah dan khusyu’. Beliau berkata: “Dahulu, ketika seseorang berniat untuk belajar kepada orang tertentu, terlebih dahulu dia memperhatikan perilaku, akhlak, dan shalatnya, baru kemudian belajar kepadanya.” (At-Tamhid)

Karena hakekat ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang melahirkan rasa takut kepada Allah, dan juga melahirkan amal shalih. Allah berfirman (artinya):

“Sungguh hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” [QS. Fathir: 28]

Imam Malik rahimahullah berkata: “Ilmu tidak dipelajari pada empat orang; orang yang buruk dan menampakkan keburukannya, ahli bid’ah yang mengajak kepada pemikiran bid’ahnya, orang yang dikenal pendusta kepada manusia sekalipun tidak berdusta atas nama Rasulullah, dan orang shalih yang tidak mengerti apa yang dia sampaikan.” (Siyar A’lam an-Nubala`)

4. Belajar Kepada Guru Yang Senior

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata: “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka belajar kepada orang-orang senior mereka, orang-orang yang amanah, dan alim. Bila mereka belajar kepada orang-orang muda dan orang-orang buruk maka mereka akan binasa.” (Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi)

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata -ketika menjelaskan perkataan Abdullah bin Mas’ud diatas-: “Maksudnya, manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama yang mereka jadikan sebagai ulama adalah orang-orang yang tua (senior), bukan anak-anak muda. Sebab orang yang tua telah hilang syahwat muda dan sifat tergesa-gesanya, serta telah mengenyam pengalaman.” (Nashihatu Ahlil Hadits)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Dapat dipetik pelajaran bahwa kematangan dan ketajaman ilmu terwujud bersama matangnya usia, banyaknya pengalaman, dan ketajaman akal.”

Ini bukan berarti, bahwa orang yang muda tidak ada yang berilmu. Ada banyak orang berilmu yang berusia muda. Tapi, tidak sepantasnya bagi orang yang berdomisili di sebuah tempat, disana terdapat syaikh atau ustadz senior yang berilmu, lalu dia enggan belajar dan duduk kepadanya, dan lebih memilih belajar kepada orang yang dibawah umurnya. (An-Nubadz fi Adab Thalabil Ilmi)

5. Orator dan Fasih Bukan Tolak Ukur!

Pintar berbicara dan fasih bukan menjadi ukuran ilmu. Sebagaimana perkataan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu: “Kalian ada di zaman yang banyak ulamanya sedikit ahli pidatonya. Akan datang setelah kalian zaman yang banyak ahli pidatonya, sedangkan ulamanya sedikit.” (As-Silsilah ash-Shahihah)

6. Belajar Secara Langsung!

Belajar agama seharusnya langsung kepada orang yang berilmu; syaikh dan ustadz. Belajar secara langsung memiliki banyak kelebihan; meringkas waktu, memudahkan pemahaman, menghindarkan kesalahan, dan mengikat penuntut ilmu dengan adab para ulama.

Sebaliknya, telah masyhur di kalangan ulama ungkapan yang berbunyi: “Siapa menjadikan buku sebagai gurunya maka kesalahannya lebih banyak daripada yang benar.”

Para salafus shalih, seperti Imam asy-Syafi’i berkata: “Siapa yang belajar otodidak maka akan menelantarkan hukum.” (Tadzkiratus Sami’ wal-Mutakallim).

Wallahu a’lam

***

Penyusun: Ust. Jamaludin, Lc.