Tabarruk didefinisikan sebagai upaya mencari berkah. Biasa disebut ngalap berkah. Sedangkan keberkahan adalah banyak dan bertambahnya kebaikan secara terus-menerus. Seseorang akan dikatakan diberkahai apabila dia memiliki banyak kebaikan. Demikian juga sebuah benda, tempat, dan waktu akan dikatakan diberkahi bila memiliki banyak kebaikan. Misalnya dalam firman Allah Ta’ala ketika mengisahkan perkataan Nabi Isa alaihis salam,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَينَ مَا كُنْتُ

“Dan Allah menjadikanku diberkahi dimanapun aku berada.” [QS. Maryam: 31].

Para ulama tafsir seperti Mujahid, Amr bin Qais, dan ats-Tsauri – rahimahumullah – berkata: “(Yaitu) Allah menjadikanku sebagai pengajar kebaikan.” Dalam riwayat lain Mujahid berkata, “(Yaitu) sebagai orang yang banyak manfaat.” (Al-Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, 824)

Keberkahan Berasal Dari Allah

Adanya keberkahan pada orang tertentu, juga benda, tempat, dan waktu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil dari al-Qur`an dan Sunnah. Karena keberkahan hanya berasal dari Allah, dan diberikan hanya kepada sebagian hamba dan makhluk yang dikehendaki-Nya. Sehingga tidak dibenarkan mencari berkah kecuali pada sesuatu yang memiliki dalil.

Allah Ta’ala berfirman,

بِيَدِكَ الْخَيْرُ

“Hanya di Tangan Engkaulah segala kebaikan.” [QS. Ali Imran: 26].

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu bercerita: “Kami pernah bersama Rasulullah r dalam sebuah perjalanan, sementara air sedikit. Beliau berkata: “Carilah sedikit air.” Maka mereka segera datang membawa sebuah bejana berisikan sedikit air. Kemudian Rasulullah memasukkan tangannya ke bejana tersebut dan berkata: “Kemarilah menuju air suci yang penuh berkah. Dan keberkahan itu berasal dari Allah.” Aku melihat sendiri air keluar dari sela jari jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”  [HR. Bukhari].

Pohon, batu, dan mata air secara umum adalah contoh tempat yang bukan merupakan sebab keberkahan. Mencari keberkahan padanya adalah bentuk kesyirikan, karena menjadikan sebab sesuatu yang tidak pernah Allah Ta’ala jadikan sebagai sebab. Rasulullah r telah mengingkari permintaan sebagian sahabat mengikuti perbuatan orang-orang musyrikin yang bertabarruk dengan pohon. Sebagaimana dikisahkan oleh sahabat Abu Waqid al-Laitsi:

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah r menuju Hunain, dan kami baru saja masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon bidara yang mereka datangi dan mereka menggantungkan senjata padanya, biasa disebut dzatu anwath. Kami melewati pohon bidara dan berkata: “Ya Rasulullah! Buatkan kami dzatu anwath sebagaimana mereka memiliki dzatu anwath.”

Spontan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Allah akbar! Sungguh ini adalah cara (orang-orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku di TanganNya, kalian telah mengatakan seperti perkataan Bani Isra`il kepada Musa: “buatkanlah kami tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan ….” [HR. Tirmidzi].

Umar bin Khatthab – radhiallahu anhu –  memerintahkan untuk menebang pohon tempat terjadinya bai’atur ridhwan manakala melihat banyak orang beratabrruk dengan datang kesana dan shalat disana.

Tabarruk Harus Sesuai Sunnah!

Kemudian, tabarruk tidak lain adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dengan kata lain adalah ibadah. Dan dalam perakteknya, ibadah harus mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang dipraktekkan oleh para sahabat.

Tabarruk yang disyariatkan memiliki banyak bentuk, di antaranya:

Pertama: tabarruk dengan perkara syar’i yang diketahui pensyariatannya, misalkan al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman: “(Al-Qur`an) adalah sebuah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu.” [QS. Shad: 29].

Mengambil berkah al-Qur`an adalah dengan cara membacanya, menghafal, menghayati, dan mengamalkannya. Diantara keberkahannya – sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang shahih bahawa membaca satu hurufnya dilipat gandakan menjadi sepuluh kebaikan, orang yang paling banyak hafalannya dikedepankan menjadi imam, derajatnya di dalam surga ditinggikan sebanyak ayat yang dihafal di dunia, dan membacanya adalah obat untuk segala penyakit.

Akan tetapi, berhati-hatilah dari mencari berkah al-Qur`an dengan cara-cara yang tidak disyariatkan. Seperti menjadikan al-Qur`an sebagai jimat dalam bentuk kalung, ikat pinggang, ataupun gelang, atau dengan menggantungnya di atas pintu dan lain sebagainya.

Kedua: tabarruk dengan mengikuti cara tertentu yang disyariatkan, seperti makan secara berjama’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Makanlah makanan kalian dengan cara berjama’ah dan baca padanya basmalah pasti kalian diberkan berkah padanya.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].

Ketiga: tabarruk dengan tempat. Ada beberapa tempat yang Allah Ta’ala jadikan padanya keberkahan bila amalan yang dilakukan padanya memenuhi syarat ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah). Misalkan masjid, khususnya masjid yang tiga: Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina.

Berbeda dengan tabbaruk di kuburan, seperti mandi dan mencuci muka disana. Begitu juga mengusap dan mencium tanah dan dinding kuburan, dan semisalnya. Imam an-Nawawi – rahimahullah – berkata dalam hal ini: “Siapa yang terbesit di hatinya bahwa mengusap dan semisalnya lebih maksimal dalam keberkahan maka itu karena ketidaktahuannya. Karena keberkahan ada pada mengikuti syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana keutamaan akan dicari dengan cara menyelisihi kebenaran?!”

Keempat: tabarruk dengan makanan, seperti habbah sauda’ dan air zam-zam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Habbah sauda’ adalah obat segala penyakit, kecuali mati.” [HR. Bukhari].

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh air zam-zam itu diberkahi.” [HR. Muslim].

Kelima: tabarruk dengan waktu. Dimana sebagian waktu diberikan kelebihan keutamaan dan keberkahan, seperti Bulan Ramadhan, malam lailatul qadar, sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah, Hari Jum’at, seperti tiga akhir malam, dan lainnya.

Tabarruk Dengan Orang Shalih?

Imam asy-Syathibi – rahimahullah – telah membantah orang-orang yang membolehkan tabarruk dengan sisa air wudhu orang shalih atau ludahnya dan berobat menggunakan benda peninggalannya serta perkara-perkara yang semisal dengan mengatakan:

“Para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan sedikitpun dari itu kepada selain beliau. Dimana Nabi r tidak meninggalkan di tengah-tengah ummat ini orang yang lebih afdhal dari Abu Bakar ash-Shiddiq yang merupakan khalifahnya. Namun itu tidak pernah dilakukan kepadanya sedikitpun. Tidak juga kepada Umar yang merupakan manusia paling afdhal setelahnya. Kemudian seperti itu pula Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat lain yang paling utama.” (Al-I’tisham, 1/482)

Kemudian beliau menjelaskan bahwa tabarruk para sahabat dengan tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun air liur, air keringat, rambut, dan benda peninggalan beliau adalah khususiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

***

Penyusun:

Ust. Jamaludin, Lc.

(Pengajar Ma’had Abu Hurairah Mataram)