Sahabat yang mulia, Syaddâd bin Aus radiallahu’anhu meriwayatkan dari Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau pernah mengajarkan satu do’a yang berjuluk “Sayyidul Istighfâr” (penghulunya istigfar), beliau bersabda: “Sayyidul Istighfâr, adalah ucapan seorang hamba;

اللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّـيْ، لَا إِلٓهَ إلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَاْ عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

Yang artinya: “Ya Allâh, Engkaulah Rabbku, tidak ada ilâh (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Engkau semata. Engkaulah yang telah menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada di atas komitmen, tekad, dan janji untuk mengabdi pada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui akan nikmat-Mu terhadapku, aku pun mengakui akan dosa-dosaku, maka ampunilah aku, karena tidak ada satu pun Dzat yang mengampuni dosa-dosa melainkan hanya Engkau semata.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda:

“Barangsiapa membaca do’a tersebut di waktu pagi disertai dengan keikhlasan dan keyakinan akan kandungan do’a tersebut, lantas dia wafat di hari tersebut sebelum sore, maka dia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membaca do’a tersebut di waktu petang dengan penuh keikhlasan dan keyakinan akan kandungan do’a tersebut, lantas dia wafat sebelum mendapati pagi hari, maka dia termasuk penghuni surga.” Dalam riwayat yang lain disebutkan (وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ) “wajib baginya surga”.

Riwayat tentang Sayyidul Istighfâr ini termaktub dalam Shahih al-Bukhâri (no. 6306, 6323). Imam Bukhari sendiri memberikan sub judul “Afdholul Istighfâr” (Istigfâr yang paling afdol) pada do’a yang agung ini. Maka sudah selayaknya bagi kita untuk menghafalkan dan mengamalkan do’a yang berharga ini setiap pagi dan petang. Namun tidak cukup hanya sampai di situ. Pemahaman yang benar dan perenungan mendalam akan maknanya, adalah sebuah keharusan demi meraih kesempurnaan fadhilah do’a ini.

Sisi Keagungan Do’a

Salah satu faktor yang menjadikan Sayyidul Istighfâr ini bernilai istimewa di sisi Allâh adalah karena makna agung yang terkandung di dalam lafaz demi lafaznya:

Pertama: Lafaz “Allâhumma anta Rabbi” (Ya Allâh Engkaulah Rabbku), adalah ikrar akan Tauhid Rububiyyah, yaitu keimanan bahwa hanya Allâh yang mencipta segala sesuatu, memberi rizki segenap makhluk, menghidupkan dan mematikan, memelihara jagad semesta dan mengatur segenap isinya.

Kedua: Lafaz “Lâ ilâha illâ anta” (Tidak ada ilâh selain-Mu) adalah ikrar akan Tauhid Uluhiyyah, yaitu keimanan bahwa hanya Allâh satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi dengan benar, dengan peribadatan yang murni dan tulus, yang tidak ditunggangi oleh niat ibadah dan tujuan pada selain Allâh.

Tauhid Uluhiyyah adalah konsekuensi lazim dari Tauhid Rububiyyah. Sebagaimana firman Allâh:
“Dan Aku adalah Rabbmu, maka dari itu, ibadahilah hanya diri-Ku semata.” [QS. Al-Anbiyâ’: 92]

Tauhid Uluhiyyah adalah garis demarkasi (pemisah) antara keimanan dan kekafiran. Seseorang belum dikatakan beriman dengan Islam, sebelum ia membuktikannya dengan Tauhid Uluhiyyah.

Ketiga: Pengakuan akan dua tauhid di atas sebagai pembuka do’a yang mulia ini, kembali ditegaskan dalam lafaz “Kholaqtanii wa ana ‘Abduka” (Engkaulah yang menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu). Lafaz “Kholaqtanii” adalah representasi dari ikrar Tauhid Rububiyyah, sementara “wa ana ‘Abduka” mencerminkan ikrar Tauhid Uluhiyyah.

Maka dengan digabungkannya ikrar akan kedua tauhid ini sebagai muqaddimah do’a, sangat jelas menunjukkan sisi keagungan dan kelayakan do’a ini disebut sebagai “Sayyidul Istighfâr” (Penghulunya Istigfar). Karena tauhid merupakan pijakan asasi, di atasnya terbangun pilar-pilar agama. Tauhid adalah penentu arah menuju Allâh, melenceng darinya adalah melenceng dari jalan menuju Allâh, yang tentu saja berkonsekuensi pada kesesatan. Tauhid adalah gerbang pertama yang harus dilalui dalam dakwah, maka sudah sepantasnya ia menjadi yang pertama dan utama sebelum yang lainnya.

Keempat: Selanjutnya lafaz “Wa ana ‘alâ ‘Ahdika wa Wa’dika Mastatho’tu” (Aku berjanji setia untuk senantiasa istiqomah di atas keimanan dan ketaatan pada-Mu semampuku), padanya terdapat isyarat lembut bahwa seorang hamba betapapun hebat perjuangannnya dalam mentaati Allâh, ia tetap tidak mampu untuk melakukan ketaatan yang layak bagi keagungan Allâh. Lafaz tersebut adalah pengakuan seorang hamba akan dosa, kelemahan, dan kekurangannya di hadapan Allâh. Seolah ia berkata: “aku tidak mampu menyempurnakan keimanan sampai pada derajatnya yang tertinggi, aku mengakui kelemahan dan kekuranganku sebagai hamba-Mu Ya Allâh.”

Kelima: Sedangkan lafaz “Abû-u laka Bini’matika ‘Alaiyya, wa Abû-u bi Dzanbi, Faghfirli” (Aku akui akan segenap nikmat-Mu kepadaku, aku pun mengakui dosa-dosaku, maka ampuni aku), padanya terdapat penggabungan antara dua hal; (pertama) pengakuan akan nikmat-nikmat Allâh dan (kedua) pengakuan akan pengingkaran kita terhadap nikmat-nikmat tersebut dengan dosa-dosa yang kita lakukan. Pengakuan yang pertama melazimkan rasa syukur, cinta dan pengagungan kepada Sang Pemberi nikmat. Sementara pengakuan yang kedua, melazimkan perasaan hina dan serba kurang di hadapan-Nya. Para ulama menjelaskan bahwa pengakuan yang kedua ini, merupakan langkah awal menuju taubat yang sesungguhnya. Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ العَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ، ثُمَّ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ

“Seorang hamba, manakala mengakui dosanya, lantas ia bertaubat, niscaya Allâh akan mengampuninya.” [al-Bukhari: 2661, Muslim: 2770]

Pada lafaz ini juga terdapat isyarat bahwa seorang hamba dalam kesehariannya, senantiasa berkutat di antara dua hal; nikmat Allâh yang harus disyukuri, dan dosa yang membutuhkan istigfar. Dahulu sebagian Salaf berucap:

إنِّـيْ أُصْبِحُ بَيْنَ نِعْمَةٍ وَذَنْبٍ، فَأُرِيْدُ أَنْ أُحْدِثَ لِلنِّعْمَةِ شُكْرًا، وَللذَّنْبِ اسْتِغْفَارًا

“Aku berada di pagi hari di antara nikmat dan dosa, maka aku berkeinginan untuk mensyukuri setiap nikmat, dan istigfar untuk setiap dosa.” [Thariqul Hijratain hal. 170, Ibnul Qayyim]

Keenam: Lafaz “Fa-innahû lâ Yaghfirudz Dzunûba illâ Anta” adalah penutup do’a yang juga mengandung esensi tauhid, bahwasanya pemilik pintu taubat dan ampunan, hanyalah Allâh semata. Maka permintaan taubat dan ampunan, hanya pantas ditujukan kepada Allâh semata.

Sisi lain keistimewaan do’a Sayyidul Istighfâr ini, terletak pada keserasiannya dengan nash-nash Qur’ani dalam hal penggabungan dua pilar agung; yaitu tauhid dan taubat atau pengakuan akan dosa. Seperti dalam Surat Muhammad ayat-19:
“Ketauhilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh, dan mohonlah ampun kepada-Nya atas dosa-dosamu, dan juga bagi orang-orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan.”
Demikian juga dalam Surat al-Anbiya ayat-87, di mana Yunus ‘alaihissalam mengungkapkan penyesalan dan kehilafannya ketika berada dalam kegelapan perut ikan:

“Kemudian dia menyeru Allâh dalam kegelapan: Tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau Ya Allâh, sungguh aku ini termasuk orang-orang yang telah berbuat zhalim (kesalahan).”

***
Ditulis oleh:
Johan Saputra Halim (Abu Ziyan)

fb.com/jo.saputra.halim

Page: fb.com/kristaliman