Fadhilah Puasa Muharram dan Asyura
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram.” [Muslim: 1163]
Dalam hadits yang lain, beliau juga bersabda: “Aku berharap puasa Asyura (10 Muharram) bisa menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya.” [Muslim: 1162]
Namun perlu diperhatikan juga penjelasan para ulama tentang fadhilah terhapusnya dosa selama setahun ini. Karena al-Imam an-Nawawi, menjelaskan dalam kitabnya al-Majmu Syarhul Muhadz-dzab (juz-6):
“Bahwa dosa-dosa yang dihapuskan dengan puasa Muharram (termasuk juga puasa Arafah) adalah dosa-dosa kecil saja. Jika seseorang tidak pernah atau sedikit melakukan dosa-dosa kecil, maka puasa tersebut menjadi tambahan pahala dan derajat baginya.”
Ibnu ‘Abbas radhiallâhu’anhu mengatakan: “Saya tidak pernah melihat Nabi begitu antusias untuk meraih pahala puasa pada suatu hari yang lebih beliau utamakan selain hari ini, yaitu hari Asyura, dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” [al-Bukhari: 1867]
Adapun kisah yang melatarbelakangi disyari’atkannya puasa Asyura, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallâhu’anhu: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, orang-orang Yahudi tengah berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari yang mulia, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa pun berpuasa pada hari tersebut. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian (orang Yahudi), lantas beliau pun berpuasa dan memerintahkan kami untuk berpuasa.” [al-Buhari: 1865]
Hukum Puasa Asyura
Pada awalnya, puasa Asyura merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum datang kewajiban puasa Ramadhan. Rubayyi’ binti Mu’awwidz radiallahu‘anha mengisahkan:
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seseorang, di pagi hari Asyura untuk mendatangi salah satu kampung di Madinah untuk menyerukan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ lantas mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain wol. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” [al-Bukhari: 1859, Muslim: 1136]
Setelah turun perintah puasa Ramadhan, semenjak itu puasa Asyura berstatus ibadah yang disunnahkan, tidak lagi wajib. ‘Aisyah radhiallâhu’anha mengisahkan:
“Setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak, boleh tidak puasa.” [al-Bukhari: 2002]
Puasa 9 Muharram
Ibnu ‘Abbas radhiallâhu’anhu mengisahkan: Ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari tersebut, ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan Nashrani. Kemudian Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahun depan, Insya Allah kita akan berpuasa di tanggal 9 (Muharram).” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam sudah wafat.” [Muslim: 1134]
Hadits ini mengandung seruan untuk menyelisihi Yahudi dan Nashrani dalam agama dan ibadah mereka. Atas dasar ini Ibnu ‘Abbas radhiallâhu’anhu mengatakan:
“Berpuasalah di hari ke-9 dan ke-10 (Muharram), dan selisihilah Yahudi (karena mereka hanya mengagungkan hari ke-10 saja, sementara kita diperintahkan untuk tidak serupa dengan mereka-pen).” [al-Baihaqi, dishahihkan oleh al-Albani dalam Hijab Mar-ah al-Muslimah hal. 177]
Hikmah Puasa di Hari ke-9
Selain hikmah pelarangan tasyabbuh (menyerupai orang-orang kafir) yang terkandung dalam pensyariatan puasa di hari ke-9 untuk mengiringi hari Asyura, para Imam seperti an-Nawawi rahimahullah menyebutkan hikmah yang lain dari disunnahkannya puasa di hari ke-9 tersebut, yaitu:
Pertama: agar puasa Asyura tidak menyendiri. Ini semisal dengan puasa menyendiri di hari Jum’at tanpa diiringi dengan puasa sehari sebelumnya, di mana Nabi melarangnya. Ini disebutkan oleh al-Khath-thabi dan ulama lainnya.
Kedua; sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak luput dari hari Asyura. Karena bisa saja terjadi kesalahan dalam menentukan hilal 1 Muharram.
Namun hikmah yang paling jelas adalah demi menyelisihi ahlul kitab. Karena tampil beda dengan agama mereka, tata cara ibadah, adat dan budaya mereka, adalah salah satu maqoshid syari’ah (tujuan syariat yang asasi) di samping juga termasuk pilar aqidah bagi kita kaum muslimin. [Fathul Bari: 4/245, Ibnu Hajar]
Perihal Puasa 11 Muharram
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa di hari ke-11 Muharram. Di antara mereka ada yang menganjurkannya seperti Ibnul Qayyim dan yang lain. Bahkan anjuran tersebut mereka sandarkan pada sebuah hadits:
“Puasalah sehari sebelumnya (9 Muharram) atau sehari setelahnya (11 Muharram).” [Riwayat Ahmad, dan al-Bazzar]
Sebagian ulama seperti Ahmad Syakir menguatkan hadits tersebut. Namun sebagian ahli hadits yang lain, mengkritisi keabsahannya, semisal, al-Imam al-Albani dan Syaikh Syu’aib al-Arnauth.
Alhasil, pendapat yang Insya Allah lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa di hari ke-11 atas dasar keumuman hadits fadhilah puasa Muharram yang tertulis pada paragraf awal tulisan ini. Asal jangan mengkhususkan puasa di hari ke-11 dengan keyakinan-keyakinan tertentu yang tidak berdasar.
Jika Awal Muharram Tidak Jelas Kapan Mulainya
Puasa di hari ke-11 atau sehari setelah hari Asyura juga bermanfaat, jika kita ingin memastikan diri untuk tidak luput dari puasa hari ke-9 dan ke-10. Inilah pendapat Imam Ahmad rahimahullah, beliau mengatakan:
Jika masuknya awal bulan Muharram samar atau tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (sehari sebelum hari yang dianggap hari Asyura, dan sehari setelahnya-pen), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. [Al Mughni, 3/174]
Karena kaidah dasar dalam masalah ini (yakni jika awal Muharram tidak jelas) adalah dengan menggenapkan hitungan Dzulhijjah 30 hari. Atas dasar hitungan tersebut, maka seseorang hendaklah berpuasa di hari ke-8, 9, dan 10 Muharram. Jika ternyata Dzulhijjah berumur 29 hari, maka dia telah pasti mendapatkan hari ke-9 dan ke-10 Muharram. Kepastian yang sama juga berlaku jika ternyata Dzulhijjah memang benar berumur 30 hari.
Puasa Muharram Sebelum Tunai Hutang Puasa Wajib
Bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan atau puasa nadzar, maka dituntut untuk ditunaikan terlebih dahulu, baru melaksanakan puasa Muharram.
Madzhab Syafi’i dan Maliki memakhruhkan puasa Muharram jika hutang puasa wajib belum ditunaikan. Sementara Madzhab Hanbali mengharamkan puasa sunnah (tathawwu’) jika hutang puasa wajib belum ditunaikan. [al-Mausu-’ah al-Fiqhiyyah: 28/300].
Terlepas dari khilaf yang ada, sikap yang terbaik tentu saja menunaikan hutang puasa wajib terlebih dahulu, baru kemudian mengerjakan yang sunnah.
***
Disusun oleh: Jo Saputra Halim (Abu Ziyan)
Bahan Bacaan: al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah, Mauqi’ Suâl wa Jawâb, dll.
Komentar Terbaru