Tingkatan ibadah dalam membaca al-Qur’an ada tiga.

Pertama, murni tilawah. Yaitu sebatas membaca al-Qur’an tanpa pemahaman, tadabbur dan tafakkur. Pada tingkatan ini, seseorang tetap diganjar pahala sesuai kadar usaha dan keikhlasannya dalam membaca.

Kedua, tilawah yang diiringi pemahaman, tadabbur dan tafakkur makna ayat-ayat yang dibaca. Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, sekalipun lebih sedikit secara kuantitas.

Bukankah Allah telah berfirman:

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

“(Yang diwahyukan kepadamu ini wahai Rasul adalah) Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu yang penuh keberkahan, agar mereka mentadabburi (memikirkan dan mengamalkan petunjuk) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal bisa mengambil pelajaran.” [QS. Shaad: 29]

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها

“Tidakkah mereka mentadabburi al-Qur’an? Atau apakah hati-hati mereka sudah terkunci (tidak bisa memahami dan mengambil manfaat dari al-Qur’an)?” [QS. Muhammad: 24]

Muhammad bin Ka’ab al-Qurozhiy rahimahullaah pernah mengatakan:

لأن أقرأ في ليلتي حتّى أصبح بإذا زلزلت، والقارعة، لا أزيد عليهما، وأتردّد فيهما، وأتفكّر أحبّ إليّ من أن أهذّ القرآن ليلتي هذّا

“Aku membaca Surat al-Zalzalah dal al-Qoori’ah saat malam sampai shubuh, aku tidak menambah sedikit pun (selain kedua Surat yang pendek tersebut-pent), aku mengulang-ulang (keduanya), dan aku bertafakkur (akan makna dan kandungannya), sungguh itu lebih aku cintai ketimbang aku membaca (keseluruhan) al-Qur’an secara cepat di waktu malam.” [Kitab az-Zuhd: 97, Ibnul Mubarok, dinukil dari Nadhrotun Na’iim: 3/913]

Fudahil rahimahullaah mengatakan:

إنّما نزل القرآن ليعمل به فاتّخذ النّاس قراءته عملا، قيل: كيف العمل به؟ قال: ليحلّوا حلاله، ويحرّموا حرامه، ويأتمروا بأوامره، وينتهوا عن نواهيه، ويقفوا عند عجائبه

[Iqtidho’ul ‘Ilmi al’Amal: 76, al-Khothiib al-Baghdaady, dinukil dari Nadhrotun Na’iim: 3/913]

Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu’anhu pernah berkata:

لاَ تَنْثُرُوْهُ نَثْرَ الدَّقَلِ وَلاَ تَهُذُّوْهُ هَذَّ الشِّعْرِ قِفُوْا عِنْدَ عَجَائِبِهِ وَحَرِّكُوْا بِهِ الْقُلُوْبَ

“Janganlah kalian membaca al-Qur’an layaknya kurma yang rontok dan berhamburan, jangan kalian membaca al-Qur’an seperti kalian membaca sya’ir (tergesa-tergesa, sehingga kalian tidak bisa meresapi maknanya-pent), berhentilah sejenak (demi menghayati) keajaiban-keajaibannya, dan gerakkanlah hati kalian dengannya.”

Ketiga, (dan ini adalah tingkatan yang tertinggi), sama dengan tingkatan kedua plus pengamalan segala konsekuensi dari ilmu yang tergali dari ayat-ayat yang dibaca.

Abdullah bin Mas’ud radhiallaahu’anhu mengatakan:

كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزْهُنَّ حَتَّى يَعْرِفَ مَعَانِيَهُنَّ وَالْعَمَلَ بِهِنَّ

“Dahulu di seseorang antara kami, jika tengah mempelajari sepuluh ayat, maka ia tidak lewat dari sepuluh ayat tersebut sampai ia benar-benar memahami maknanya dan beramal dengan kandungannya.”

***

Disusun oleh Redaksi al-Hujjah:

Johan Saputra Halim

saputrahalim@gmail.com