MANZILAH (KEDUDUKAN) DAN KEUTAMAAN KHUSYU’

 

Sikap khusyu’ (dalam konteks ibadah) memiliki kedudukan dan keutamaan yang mulia di mata Syari’at. Hal tersebut bisa terlihat dari beberapa sisi berikut ini:

Pertama; Khusyu’ adalah karakteristik para Nabi dan kunci terkabulnya permintaan mereka kepada Allah (sekalipun permintaan tersebut terlihat mustahil di mata manusia). Sebagaimana firman Allah:

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah sebaik-baik Dzat yang kekal. Maka Kami pun mengabulkan do’anya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. serta mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [QS. al-Anbiyaa: 89-90]

Kedua; Khusyu’ adalah perintah Allah kepada orang-orang beriman dan merupakan karakteristik pembeda antara mereka dengan orang-orang yang berhati keras lagi durjana (fasik). Allah berfirman:

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk hati) mereka ketika mengingat Allah dan (mendengar) al-Qur-aan yang turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, ketika berlalu masa yang panjang atas mereka maka hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. al-Hadiid: 16]

Ketiga; Khusyu’ merupakan salah satu kewajiban dalam shalat, dan tidaklah Allah mewajibkan suatu hal, melainkan ia pasti memiliki urgensi dan manzilah yang tinggi di sisi-Nya. Kewajiban khusyu’ tersebut didasarkan pada firman Allah:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat (lakabiiroh), kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” [QS. al-Baqarah: 45]

Berdalil dengang ayat tersebut, al-Imam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah (wafat: 728-H) mengatakan dalam Majmu’ al-Fataawa (22/553) bahwa menghadirkan khusyu’ dalam shalat hukumnya wajib.

Sisi pendalilannya adalah sebagai berikut; kata-kata “lakabiiroh” pada ayat di atas sebenarnya berbicara dalam konteks celaan bagi orang-orang yang tidak menghadirkan khusyu’. Sama persis dengan firman Allah dalam Surat al-Baqarah (ayat 143) yang juga menggunakan ungkapan “lakabiiroh” sebagai celaan bagi orang-orang yang menyimpan penolakan di hati mereka atas ketetapan Allah dalam perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis menuju Ka’bah di Makkah.

Sementara celaan dalam syari’at, tidak terjadi kecuali pada orang-orang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Maka jelaslah bahwa khusyu’ di dalam shalat merupakan perkara yang wajib.

Keempat; Khusyu’ di dalam shalat merupakan sifat pertama yang disebutkan Allah dalam al-Qur-aan bagi seorang mukmin. Buah dari khusyu’ adalah keberuntungan di dunia. Adapun di akhirat, orang-orang yang khusyu akan mewarisi surga yang tertinggi, yaitu surga firdaus. Allah berfirman:

“Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya…..(sampai firman-Nya)…merekalah orang-orang yang akan mewarisi Firdaus, dan mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Mukminun: 1-11] [Nadhrotun Na’iim: 1/32]

Kelima; Rasulullah r berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’. Ini menunjukkan bahwa hati yang tidak khusyu’ adalah hati yang tercela, dan sebaliknya menunjukkan betapa khusyu’nya hati adalah sesuatu yang teramat berharga hingga layak untuk diminta dan diperjuangkan.

Dalam Shahih Muslim (no. 2722), diriwayatkan bahwa Rasulullah r berdo’a:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah kenyang, dan dari do’a yang tidak terjawab.”

Keenam; Hudzaifah t berkata:

أَوَّلُ مَا تَفْقِدُونَ مِنْ دِينِكُمُ الْخُشُوعُ، وَآخِرُ مَا تَفْقِدُونَ مِنْ دِينِكُمُ الصَّلَاةُ، وَرُبَّ مُصَلٍّ لَا خَيْرَ فِيهِ، وَيُوشِكُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَ الْجَمَاعَةِ فَلَا تَرَى فِيهِمْ خَاشِعًا

“Hal pertama yang akan lenyap dari agama kalian adalah khusyu’, dan hal terakhir yang akan hilang dari agama kalian adalah shalat. Nyaris engkau mendatangi masjid shalat jama’ah, namun engkau tak melihat satupun dari mereka yang khusyu’.” [Madaarijus Saalikiin: 1/517]

Ketujuh; Sahl rahimahullaah berkata:

مَنْ خَشَعَ قَلْبُهُ لَمْ يَقْرَبْ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“Barangsiapa memiliki hati yang khusyu’, maka syetan tidak akan mendekat padanya.” [Madaarijus Saalikiin: 1/517]

KIAT MENGGAPAI KHUSYU’

Pertama; Kenali Allah dengan mempelajari Asmaa-ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang agung, yang berada di puncak kemuliaan, keindahan dan kesempurnaan. Ini akan mewariskan rasa cinta, pengagungan, sekaligus rasa takut pada-Nya dalam diri seorang hamba. Ulama salaf mengatakan:

مَنْ كَانَ باللهِ أَعْرَفَ، كَانَ بِاللهِ أَخْوَفَ

“Siapa yang paling mengenal Allah, maka dialah orang yang paling takut (khusyu’) pada Allah.”

Kedua; Hadirkan selalu niat ikhlas di dalam hati untuk mempersembahkan segenap amal shalih kita pada Allah semata. Hal ini akan membantu hati untuk senantiasa mengingat bahwa Allah senantiasa mengetahui, melihat dan mendengar segenap aib dari perbuatan kita, yang pada akhirnya hal tersebut akan melahirkan rasa khusyu’. Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan:

وَكُلَّمَا كَانَ أَشَدَّ اسْتِحْضَارًا لَهُ كَانَ أَشَدَّ خُشُوعًا، وَإِنَّمَا يُفَارِقُ الْقَلْبَ إِذَا غَفَلَ عَنِ اطِّلَاعِ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَنَظَرِهِ إِلَيْهِ

“Semakin kuat seorang hamba dalam menghadirkan Allah (dalam ibadahnya), maka semakin kuat pula khusyu’ yang diraih. Khusyu’ hanya akan berpisah dari hati jika hati tersebut lupa akan pengawasan dan penglihatan Allah terhadapnya.” [Madaarijus Saalikiin: 1/518-519]

Ketiga; Teladani Rasulullah r dalam sunnah dan tata cara ibadah beliau. Karena beliau adalah makhluk Allah yang paling khusyu dan telah menggapai derajat kekhusyu’an yang tertinggi.

Sebagai contoh, sunnah Rasulullah r dalam hal menunda pelaksanaan shalat Zhuhur (saat cuaca panas memuncak) sampai matahari tergelincir hingga panas terik terasa berkurang. Sunnah ini, oleh para ulama, memiliki hikmah yang agung; yaitu demi tercapainya kekhusyu’an yang optimal di dalam shalat. Demikianlah yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Waabilus Shoyyib (hal. 13)

Demikian juga dengan perintah beliau untuk menundukkan pandangan ke arah tempat sujud, serta larangan beliau untuk mengangkat pandangan ketika shalat. Semuanya bermuara pada hikmah yang sama, yaitu demi meraih menghadirkan khusyu’ di dalam shalat.

Keempat; Senantiasa mengingat kebaikan Allah atau kebaikan orang lain terhadap kita, diiringi dengan mengingat keburukan dan aib-aib busuk kita terhadap Allah juga terhadap sesama. Jangan pernah menghitung kebaikan yang pernah kita lakukan, namun sebaliknya, hitunglah setiap dosa yang selalu kita perbuat. Sikap ini akan mewariskan perasaan tawadhu’ yang menghantarkan pada khusyu’.

Ibnul Qayyim rahimahullaah membeberkan rahasia kekhusyu’an yang digapai oleh gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahullaah. Tidak lain karena ketawadhu’an beliau. Sering kali beliau (Ibnu Taimiyyah) mengulang-ulang ungkapan:

أَنَا الْمُكَدِّي وَابْنُ الْمُكَدِّي … وَهَكَذَا كَانَ أَبِي وَجَدِّي

“Aku adalah orang rendahan, putra orang rendahan….Demikian juga halnya ayah dan kakekku.”

Ketika dipuji, beliau malah mengungkapkan suasana hati yang sebenarnya beliau rasakan:

وَاللَّهِ إِنِّي إِلَى الْآنِ أُجَدِّدُ إِسْلَامِي كُلَّ وَقْتٍ، وَمَا أَسْلَمْتُ بَعْدُ إِسْلَامًا جَيِّدًا

“Demi Allah, sungguh aku sampai detik ini masih memperbaharui keislamanku, aku belumlah sepenuhnya ber-Islam dengan keislaman yang baik.” [Madaarijus Saalikiin: 1/520]

Kelima; Memahami dan menghayati bacaan-bacaan ibadah seperti; bacaan shalat, al-Qur-aan, dzikir, do’a dan lain-lain. Di sini seorang muslim harus menguasai bahasa Arab dengan baik dan benar.

Imam Ibnu Jariir ath-Thabari rahimahullaah mengatakan:

إِنِّي لأعْجَبُ مِمَّنْ قَرَأ الْقُرْآنَ وَلَمْ يَعْلَمْ تَأْوِيْلَهُ، كَيْفَ يَلْتَذُّ بِقِرَاءَتِهِ؟

“Sungguh aku heran dengan orang yang membaca al-Qur-aan namun tidak memahami maknanya, bagaimana ia bisa merasakan kelezatan dengan bacaannya..?!” [Tafsir ath-Thobari: 1/10, Taqdim: Mahmud Syakir]

***

Artikel: https://alhujjah.com

Penyusun: Redaksial-Hujjah

Johan Saputra Halim

(FaceBook: saputrahalim@gmail.com)

Muroja’ah:

Ust. Jamaluddin, Lc.