Seorang penyair mengatakan:
شَهْرُ الْحَرَامِ مُبَارَكٌ مَيْمُوْن ……. وَ الصَّوْمُ فِيْهِ مُضَاعَفٌ مَسْنُـوْن
وَ ثَوَابُ صَائِمِهِ لِوَجْهِ إِلَــهِه…… فِي الْخُلْدِ عِنْدَ مَلِيْكِهِ مَخْزُوْن
“Bulan al-Haram penuh keberkahan lagi diberkahi….Berpuasa padanya disunnahkan dan melipatkan gandakan ganjaran….Balasan bagi yang berpuasa padanya dengan mengharap Wajah Ilahi….Tersimpan dalam (surga) keabadian di sisi Pemilik surgawi.”
ISTIMEWANYA HARI ‘ASYURO
Setelah mengkhususkan Muharram sebagai Bulan Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam juga mengkhususkan bahwa di Bulan Muharram ada suatu hari di antara Hari-Hari Allah yang disebut Hari ‘Asyuro, yaitu hari ke-10 di bulan tersebut. Beliau r bersabda:
إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Sesungguhnya Hari ‘Asyuro merupakan suatu hari di antara Hari-hari Allah (yang memiliki keistimewaan), barangsiapa yang mau, hendaklah dia berpuasa pada hari tersebut, dan barangsiapa yang mau, boleh tidak berpuasa.” [HR. Muslim]
Diriwayatkan secara shahih dari Yazid bin Salamah al-Auka’ radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam pernah memerintah seseorang untuk menyerukan:
أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ ، فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
“Barangsiapa yang sudah makan (pada hari ini), maka hendaklah ia lanjutkan sisa hari ini dengan berpuasa, barangsiapa belum sempat makan maka berpuasalah, karena hari ini adalah Hari ‘Asyuro.” [HR. Bukhari: 1924]
Ummul Mu’miniin ‘Aisyah radhiallaahu’anha menjelaskan dalam riwayat Bukhari (no. 1592) bahwa tatkala Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam baru berhijrah ke Madinah, Nabi tetap berpuasa ‘Asyuro, dan bahkan beliau masih memerintahkannya. Tatkala turun perintah wajib Puasa Ramadhan, maka semenjak itu Puasa ‘Asyuro boleh untuk ditinggalkan.
Dalam al-Muntaqa (Syarh al-Muwaththo Imam Malik) disebutkan sebuah kesimpulan bahwasanya Puasa ‘Asyuro adalah puasa pertama yang bersifat wajib sebelum turunnya kewajiban Puasa Ramadhan.
Begitu istimewanya Hari ‘Asyuro sampai-sampai diriwayatkan dari seorang ulama Salaf bernama Fathi bin Syakhrof, dia bercerita:
كُنْتُ أَفَتُّ لِلنَّمْلِ الْخُبْزَ كُلَّ يَوْمٍ فَلَمَّا كَانَ عَاشُوْرَاء لَمْ يَأْكُلُوْهُ
“Aku memberi makan semut-semut sepotong roti setiap hari. Namun manakala tiba Hari ‘Asyuro, semut-semut tersebut tidak mau memakannya.”
Yang tidak kalah ajaib, disebutkan oleh al-Khathiib dalam kitab tarikh-nya bahwa:
أَنَّ الصُّرَدَ أَوَّلُ طَيْرٍ صَامَ عَاشُوْرَاء
“Burung Shurod adalah jenis burung pertama yang berpuasa di Hari ‘Asyuro.” [dinukil dari Lathoo-iful Ma’aarif hal. 110. Belum diketahui kebenaran kisah-kisah semacam ini, hanya saja berita tentang disaksikannya sekawanan hewan yang tidak mau makan pada Hari ‘Asyuro kecuali setelah matahari terbenam, cukup masyhur, ditulis dan dikisahkan oleh para ulama salaf, wallahua’lam-red]
FADHILAH PUASA ‘ASYURO
Adapun tentang fadhilah puasa ‘Asyuro, diriwayatkan secara shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau pernah ditanya tentangnya, maka beliau menjawab:
مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ وَلاَ شَهْرًا إِلاَّ هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِى رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah mengetahui betapa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersungguh-sungguh berpuasa pada suatu hari demi meraih fadhilahnya di banding hari-hari yang lain kecuali hari ini (’Asyuro) dan tidak pula pada suatu bulan kecuali bulan ini yaitu Ramadhan.” [HR. Muslim]
Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam disifatkan bersungguh-sungguh dalam beribadah pada suatu bulan yaitu Bulan Ramadhan, maka untuk hitungan hari, beliau melakukan hal yang sama pada Hari ‘Asyuro.
Dalam riwayat shahih lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Dan puasa Hari ‘Asyuro, aku berharap pada Allah bisa menghapus dosa setahun yang lalu.” [HR. Muslim]
PUASA ‘ASYURO, WARISAN TURUN TEMURUN PARA NABI
Imam Ibnu Rajab mengatakan: “Puasa di Hari ‘Asyuro demi meraih fadhilahnya begitu ma’ruf di kalangan para Nabi ‘alaihim as-salaam. Nabi Nuh dan Nabi Musa melakukan puasa di hari ini…..” [Lathoo-iful Ma’aarif hal. 102]
Kaum Quraisy jahiliyah, mereka pun berpuasa pada Hari ‘Asyuro. Tradisi ini, di kalangan mereka, adalah sisa-sisa warisan sunnah Nabi Ibrahim dan Isma’il yang masih mereka pertahankan. ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha menceritakan bahwa dulu, kaum Quraisy di masa jahiliyah, berpuasa pada Hari ‘Asyuro. Nabi pun, yang ketika itu masih berada di Makkah, ikut berpuasa. [lihat Shahih Bukhari: 2002, Shahih Muslim: 1125]
Yahudi sebagai umat Nabi Musa, juga mengamalkan puasa Hari ‘Asyuro. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (no. 2004) dan Shahih Muslim (no. 1130) dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam mendapati orang-orang Yahudi di Madinah berpuasa. Maka Nabi bertanya kepada mereka: “Hari apa ini sehingga kalian berpuasa?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta hari ditenggelamkannya Fir’aun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa sebagai wujud syukur kepada Allah, sehingga kami pun berpuasa.” Rasulullah lantas bersabda: “Kami lebih berhak terhadap (amalan) Musa (tersebut) daripada kalian.” Maka Nabi pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkan Sahabatnya untuk berpuasa pula.
EMPAT FASE, PENGAMALAN PUASA ‘ASYURO OLEH RASULULLAH r
Imam Ibnu Rajab, (berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas), menarik kesimpulan bahwa dalam pensyari’atan Puasa ‘Asyuro ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam melewati 4 fase:
Pertama: Fase ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam masih berada di Makkah. Saat itu beliau berpuasa namun tidak memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.
Kedua: Fase di mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam baru saja berhijrah ke Madinah, dan mendapati orang-orang Yahudi di sana memperingati Hari ‘Asyuro dengan berpuasa. Namun pada fase ini belum turun perintah Puasa Ramadhan.
Pada fase ini beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam sangat menekankan para Sahabat untuk berpuasa ‘Asyuro. Sampai-sampai diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (no. 1960) dan Shahih Muslim (no. 1136) bahwa para Sahabat mengajarkan anak-anak mereka yang masih belia untuk berpuasa di hari ini. Disebutkan bahwa para Sahabat tidak memberi makan anak-anaknya pada Hari ‘Asyuro, jika mereka menangis (karena lapar), maka perhatian mereka dialihkan dengan mainan anak. Sampai demikian kuatnya perintah untuk berpuasa ‘Asyuro, sehingga sebagian ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menganggap bahwa Puasa ‘Asyuro pada fase ini bersifat wajib, haram untuk ditinggalkan. [Lathoo-iful Ma’aarif hal. 104-105]
Ketiga: Fase ketika perintah wajib Puasa Ramadhan telah turun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam tidak lagi memerintahkan Sahabatnya untuk berpuasa. Para ulama mengatakan bahwa pada fase ini, kewajiban Puasa ‘Asyuro telah mansuukh (terhapus), dan menjadi istihbaab (sunnah yang dianjurkan).
Keadaan pada fase ini (sebagaimana disebutkan di atas) tergambar jelas dalam dalam Shahih Bukhari (no. 1892) dan Shahih Muslim (no. 1126).
Keempat: Merupakan fase terakhir menjelang beliau wafat, di mana Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam bertekad untuk menyelisihi Ahlul Kitab dalam mengamalkan Puasa ‘Asyuro. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam diberi kabar bahwasanya Hari ‘Asyuro itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى – صُمْنَا الْيَوْم التَّاسِع ، قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَام الْمُقْبِل حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ “Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita berpuasa juga pada hari yang ke-sembilan.” Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Belum sempat tahun berikutnya tiba, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam sudah wafat.” [HR. Muslim: 1134]
Di sini terdapat pelajaran yang berharga. Betapa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam selalu menginginkan kita tampil beda dengan Yahudi-Nashrani (terlebih lagi dengan orang-orang musyrik) dalam ritual keagamaan atau pada tradisi yang menjadi ciri khas mereka.
Nabi tidak menginginkan terjadinya pengkaburan antara tradisi Islam dengan tradisi kafir, baik secara lahiriah sekalipun. Karena kesamaan lahiriah (sekecil apapun itu), bisa mengantarkan sedikit demi sedikit pada kesamaan bathin (na’udzubillah). Sehingga kaburlah perbedaan antara iman dan kufur, runtuhlah benteng pemisah antara tauhid dan syirik, kebenaran dan kebathilan seolah dua saudara kembar yang tidak bisa di bedakan lagi. Dan Demi Allah, kita telah menyaksikan yang demikian terjadi saat ini. Wallaahua’lam
Disusun oleh: Redaksi al-Hujjah
Sumber Bacaan Utama:
Lathoo-iful Ma’aarif, Ibnu Rajab al-Hambali, Daar Ibni Katsiir, Cet-V, 1420-1999.
Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
Komentar Terbaru