BENTUK-BENTUK MAJELIS DZIKIR
Perlu dicatat bahwa fadhilah majelis dzikir sebagaimana tersebut di atas, hanya bisa diraih jika diamalkan dengan cara yang dituntunkan oleh Nabi r dan para Sahabat.
Dari hadits-hadits yang menyebutkan tentang majelis dzikir, dapat kita ketahui bentuk-bentuk majelis dzikir sebagai berikut:
(1) BERKUMPUL BERDZIKIR
Bentuk majelis dzikir yang pertama adalah; duduk bersama-sama, kemudian masing-masing berdzikir dengan pelan. Lafaz dzikir yang dibaca adalah Tahmid (ucapan Alhamdulillaah), Takbir (Allaahuakbar), Tashbih (Subhaanallaah), Tahlil (Laa ilaaha illallaah), dan istigfar (Astagfirullaah).
Bentuk dzikir ini ditunjukkan oleh hadits-hadits ini: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki malaikat-malaikat yang berkelana di jalan-jalan mencari orang-orang yang berdzikir. Jika mereka telah mendapatkan sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah, mereka duduk bersama dengan orang-orang yang berdzikir. Mereka saling mengajak: ‘Kemarilah kepada hajat kamu’. Maka para malaikat mengelilingi orang-orang yang berdzikir dengan sayap mereka sehingga langit dunia. Kemudian Allah Azza wa Jalla bertanya kepada mereka (sedangkan Dia lebih mengetahui daripada mereka), ’Apa yang diucapkan oleh hamba-hambaKu?’ Para malaikat menjawab,’Mereka mensucikanMu (mengucapkan tasbih: Subhanallah), mereka membesarkanMu (mengucapkan takbir: Allah Akbar), mereka memujiMu (mengucapkan Alhamdulillah), mereka mengagungkanMu’. Allah bertanya, ’Apakah mereka melihatKu?’ Mereka menjawab,’Tidak, demi Alah, mereka tidak melihatMu’. Allah berkata, ’Bagaimana seandainya mereka melihatKu?’ Mereka menjawab, ’Seandainya mereka melihatMu, tentulah ibadah mereka menjadi lebih kuat kepadaMu, lebih mengagungkan kepadaMu, lebih mensucikan kepadaMu’…..” [Muslim, no. 2689]
Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah keluar menemui satu halaqah dari para sahabat beliau. Kemudian beliau bertanya, ’Apa yang menyebabkan engkau duduk?’.” Mereka menjawab, “Kami duduk berdzikir kepada Allah.” Beliau bertanya lagi, “Demi, Allah. Tidak ada yang menyebabkan engkau duduk, kecuali hanya itu?” Mereka menjawab, “Demi, Allah. Tidak ada yang menyebabkan kami duduk, kecuali hanya itu?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya, aku tidaklah meminta engkau bersumpah karena sangkaan (bohong, Pent) kepadamu. Akan tetapi Jibril telah mendatangiku, lalu memberitahukanku, bahwa Allah Ta’ala membanggakanmu kepada para malaikat.” [HR Muslim, no. 2701].
Dari pertanyaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada para sahabat, mengisyaratkan bahwa dzikir yang mereka lakukan adalah dengan cara pelan. Karena jika keras, tentulah tidak perlu ditanya. Bahkan tentu diingkari, sebagaimana hadits di bawah ini.
Abu Musa Al-Asy’ari berkata: Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara mereka dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Pelanlah! Kasihanilah diri kalian! Sesungguhnya engkau tidaklah menyeru kepada (Tuhan) yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya, engkau menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersamamu (dengan ilmuNya, pendengaran-Nya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pent.)…..” [HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].
Dan dzikir secara pelan merupakan adab yang Allah perintahkan. Dia berfirman:
Artinya: “Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [Al A’raf:205].
(2) TADARUS AL-QUR-AAN
Bentuk bajelis dzikir yang kedua adalah; duduk bersama-sama untuk membaca dan mempelajari Al Qur-aan. Yaitu dengan cara salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkan. Hal ini ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali malaikat mengelilingi mereka, rahmat meliputi mereka, ketenangan turun kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya. [HR Muslim, no. 2700].
Dalam hadits ini disebutkan keutamaan “sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah”. Dalam hadits lain lebih dijelaskan bentuk dzikir yang mereka lakukan:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim, no. 2699].
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: Nabi bersabda kepadaku, “Bacakanlah (Al Qur’an) kepadaku.” Aku menjawab, ”Apakah aku akan bacakan kepada Anda, sedangkan Al Qur-aan diturunkan kepada Anda” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku suka mendengarkannya dari selainku..” Maka aku membacakan kepada beliau surat An Nisa’, sehingga aku sampai pada (ayat ke-41), Beliau lantas bersabda, “Berhentilah,” ternyata kedua mata Beliau meneteskan air mata. [HR Bukhari, no. 4582; Muslim, no. 800 dan lain-lain].
Syaikh Dr. Muhammad Musa Nashr menjelaskan tata cara tadarus yang sesuai sunnah, “Berkumpul untuk membaca Al Qur-aan yang sesuai dengan Sunnah Nabi dan perbuatan Salafush Shalih, yaitu satu orang membaca dan orang-orang selainnya mendengarkan. Barangsiapa mendapatkan keraguan pada makna ayat, (maka hendaklah) dia meminta qari’ (orang yang membacakan) untuk berhenti, dan orang yang ahli berbicara tentang tafsir menjelaskannya, sehingga tafsir ayat itu menjadi jelas dan terang bagi orang-orang yang hadirin … Kemudian qari’ mulai membaca lagi. [Kitab Al Bahts Wal Istiqra’ Fi Bida’il Qurra’, hlm. 50-51].
(3) MENGKAJI ILMU
Bentuk majelis dzikir yang ketiga adalah Majelis ilmu, dan inilah Majelis dzikir yang paling afdhol.
‘Atha rahimahullah berkata, “Majelis-Majelis dzikir adalah Majelis-Majelis halal dan haram; bagaimana seseorang membeli, menjual, berpuasa, shalat, bershadaqah, menikah, bercerai, dan berhaji.” [Al ‘Ilmu Fadhkuhu Wa Syarafuhu, hlm. 132]
Dalam kitab Riyadhush Shalihin, Imam An Nawawi membuat satu bab (no. 247) dengan judul: “Keutamaan Halaqah-halaqah Dzikir dan Anjuran Menetapinya, dan Larangan Meninggalkannya Dengan Tanpa Udzur (alasan)”. Beliau menyebutkan empat hadits. Salah satu hadits berisi tentang majelis ilmu. Ini menunjukkan, bila Imam Nawawi rahimahullah mengisyaratkan, bahwa majelis ilmu termasuk majelis dzikir. Wallahu a’lam.
Hadits yang kami maksudkan ialah: Dari Abu Waqid Al Laitsi, bahwa ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sedang duduk di dalam masjid, dan orang-orang bersama Beliau; tiba-tiba datanglah tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, yang satu pergi. Kedua orang tadi berhenti di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Yang satu melihat celah pada halaqah (lingkaran orang-orang yang duduk), lalu dia duduk padanya. Adapun yang lain, dia duduk di belakang mereka. Adapun yang ketiga, maka dia berpaling pergi. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam selesai, Beliau bersabda,”Maukah aku beritahukan kepada kamu tentang tiga orang tadi? Adapun salah satu dari mereka, dia mendekat kepada Allah, maka Allah-pun mendekatkannya. Adapun yang lain, dia malu, maka Allah-pun malu kepadanya. Dan Adapun yang lain, dia berpaling, maka Allah-pun berpaling darinya.” [HR Bukhari; Muslim, no. 2176.]
Di antara perkataan Imam Nawawi rahimahullah tentang hadits ini, beliau menyatakan: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya halaqah-halaqah ilmu dan dzikir di dalam masjid”. [Shahih Muslim Syarh An Nawawi, 7/413, Penerbit Darul Hadits, Kairo, Cet. 4, Th 1422 H/2001 M.]
Ketika menyebutkan fiqih hadits ini, Syaikh Salim Al Hilali berkata, “Majelis dzikir-Majelis dzikir adalah halaqah-halaqah ilmu yang diadakan di rumah-rumah Allah untuk belajar, mengajar dan mencari pemahaman terhadap agama.” [Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin, 2/521, Cet. 1, Th. 1415 H/ 1994 M.]
Bahkan sebagian ulama menjelaskan, majelis ilmu lebih baik daripada majelis dzikir. Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr, berkata, “Tidak ada keraguan, bahwa menyibukan dengan menuntut ilmu dan menghasilkannya, mengetahui halal dan haram, mempelajari Al Qur’anul Karim dan merenungkannya, mengetahui Sunnah Rasulullah r dan sirah (riwayat hidup) Beliau serta berita-berita Beliau, adalah sebaik-baik dzikir dan paling utama. Majelis-Majelisnya adalah Majelis-Majelis paling baik. Majelis-Majelis itu lebih baik daripada Majelis-Majelis dzikrullah dengan tasbih, tahmid dan takbir. Karena Majelis-Majelis ilmu berkisar antara fardhu ‘ain atau fardhu kifayah. Sedangkan dzikir semata-mata (hukumnya) adalah tathawwu’ murni (sunnah, tidak wajib).” [Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, 1/104].
***
Diringkas dari artikel karya Ust. Abu Isma’il Muslim al-Atsari, dimuat di majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004 dan www.almanhaj.or.id
Murojaah: Ust. Mizan Qudisah, Lc.
Komentar Terbaru