MAKNA AL-’AFIYAH

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengurai hadits di atas dengan indahnya, sekaligus menjabarkan kepada kita makna al-‘Afiyah. Kata beliau:  “Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam menghimpun (dalam hadits tersebut) dua jenis ‘afiyah (keselamatan); ‘afiyah di akhirat dan ‘afiyah di dunia. Tidak akan sempurna kebaikan hamba di kedua negeri tersebut (dunia dan akhirat) melainkan dengan al-Yaqin dan al-‘Afiyah. Al-Yaqin menjadi perisai (bagi seorang hamba) dari adzab akhirat, sedangkan al-‘Afiyah menjadi benteng dari rasa sakit dunia yang menimpa jiwa dan raganya.” [Zaadul Ma’aad: 4/216]

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

مَا مِنْ دَعْوَةٍ يَدْعُوْ بِهَا الْعَبْدُ أَفْضَلَ مِنْ: اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْمُعَافَاةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

Tidak ada satu do’a pun yang lebih afdhol dari (do’a yang artinya): ‘Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu ‘afiyah di dunia dan di akhirat (kelak).” [Shahih Sunan Ibn Majah: 3106]

Anas t mengisahkan bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah melintasi suatu kaum yang tengah ditimpa bala’. Beliau lantas bersabda:

أَمَا كَانَ هَؤُلاَءِ يَسْأَلُوْنَ اللهَ الْعَافِيَةَ؟

Tidak pernahkah orang-orang ini memohon ‘afiyah?” [Silsilah as-Shahiihah: 2197, al-Albani]

Bahkan al-‘Abbas, paman Nabi yang tercinta, berulang kali bertanya kepada beliau r: “Wahai Rasulullah r, ajarkanlah aku suatu do’a yang dengannya aku meminta pada Allah”, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa mewasiatkan pada beliau agar meminta ‘afiyah. Saat kesekian kalinya pertanyaan tersebut dilayangkan, Rasulullah r bersabda: “Wahai al-‘Abbas,  wahai paman Rasulullah, mintalah kepada Allah ‘afiyah di dunia dan di akhirat.” [Shahiih Sunan at-Tirmidzi: 2790]

Kita tahu bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menempatkan al-‘Abbas pada maqom seorang ayah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mendambakan al-haq untuk pamannya yang tercinta ini sebagaimana seorang anak menginginkan al-haq untuk bapaknya. Sehingga sudah barang tentu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan yang terbaik untuk beliau. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengajarkan bagi pamannya—yang berulang kali bertanya ini—untuk selalu memohon ‘afiyah, menunjukkan betapa ‘afiyah merupakan kebutuhan hamba yang agung nan luhur, yang amat pantas untuk kita wasiatkan pada orang-orang yang kita sayangi. [Adaptasi dari Tuhfatu adz-Dzaakiriin hal. 307]

Lalu apa sebenarnya hakikat ‘afiyah? Mengapa ‘afiyah begitu urgen di mata Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam? Sampai-sampai dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih, Rasulullah senantiasa meminta ‘afiyah pada banyak situasi dan tempat, seperti saat sujud (Shahih Muslim: 468), saat hendak tidur (Shahih Muslim: 2712), tatkala pagi dan petang (Shahiih Sunan Abi Dawud: 3/248), dan bahkan beliau tidak lupa memohon ‘afiyah ketika berziarah kubur untuk diri beliau dan untuk kaum muslimin yang telah wafat (Shahih Muslim: 975).

ANTARA ‘AFIYAH & STABILITAS KEAMANAN

‘Afiyah di dunia terkait erat dengan keamanan, suatu perkara yang dhoruroh—berdasarkan istilah fuqoha—dan teramat penting di mata Islam. Bahkan salah satu misi al-Qur-an adalah mewujudkan­—stabilitas—keamanan.

Renungkanlah bagaimana al-Qur-an mengabadikan munajat Khalilullaah Ibrahim ‘alaihissalam yang lebih mendahulukan terwujudnya keamanan suatu negeri daripada kebutuhan pangan:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo’a: ‘Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya, yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” [QS. al-Baqarah: 126]

Karena dengan terwujudnya stabilitas keamanan, kebutuhan pangan bisa diraih, dan Allah pun bisa disembah dengan layak. Makna inilah yang tersirat ketika Allah berargumentasi menggunakan nikmat aman dan kenyang untuk menegaskan kewajiban tauhid (beribadah hanya kepada-Nya):

Maka hendaklah mereka menyembah Rabb (Pemilik) rumah ini (Ka’bah). (Yaitu Rabb) yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan rasa lapar dan yang telah mengamankan mereka dari ketakutan.” [QS. Quraisy: 3-4]

HUKUMAN BAGI PERUSAK STABILITAS KEAMANAN

Stabilitas keamanan terwujud, tauhid pun akan terealisasi dengan layak”, ungkapan ini kiranya menjadi muara dari penjabaran panjang tentang urgensi ‘afiyah di atas. Sehingga tidak heran jika al-Qur-an begitu keras mengancam mereka para perusak stabilitas keamanan suatu negeri:

Balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan berusaha untuk membuat kerusakan di muka bumi adalah dengan dibunuh, atau di salib, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan, atau diasingkan.” [QS. al-Maa-idah: 33]

Imam ahli tafsir, Ibnu Katsir rahimahullah, setelah membawakan banyak riwayat dan tafsiran para ulama tentang ayat di atas, beliau mengkategorikan aksi-aksi teror, pembunuhan, sabotase jalan (atau merusak fasilitas yang menjadi kebutuhan primer publik), perampasan harta dan kehormatan, dan yang semisalnya, baik pelakunya muslim atau kafir, semuanya masuk dalam keumuman ancaman ayat di atas. Bahkan terdapat riwayat dari Salaf bahwa ayat tersebut turun sebagai ancaman bagi kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang getol melakukan kudeta berdarah atas pemimpin kaum muslimin yang sah. [lihat Tafsir Ibnu Katsir: jilid 3, hal. 1158, Cet. Daar Ibn Hazm]

TIPS SYAR’I STABILITAS KEAMANAN

Tentunya kita tidak menghendaki kejadian di Mesir menjalar ke negeri-negeri kaum muslimin yang lain, khususnya Indonesia negeri tercinta. Disamping berdo’a memohon ‘afiyah, Islam juga memberikan jalan keluar yang harus segera kita upayakan untuk terwujud pada pribadi dan masyarakat:

Pertama: Mentauhidkan Allah & Menjauhkan Syirik

Karena Allah berfirman: “Orang-orang yang beriman (di atas tauhid) dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan (di dunia dan di akhirat) dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. al-An’am: 82]

Kedua: Banyak-Banyak Bersyukur dengan yang Ada Sekarang

Karena Allah berfirman: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepada-Nya melimpah ruah dari segenap penjuru, tapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [QS. an-Nahl: 112]

Ketiga: Menyibukkan Diri Dengan Ibadah

Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

العِبَادَةُ فِي الْحَرَجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

Beribadah tatkala fitnah (huru-hara bergolak), nilainya seperti berhijrah menuju aku.” [Shahiihul Jaami’: 3974]

Betapa indahnya jika setiap orang mengindahkan wasiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini, setiap orang sibuk dengan ibadahnya masing-masing, tak perlu ada darah sesama muslim yang tumpah di jalan-jalan, niscaya—tak berselang waktu lama—Allah akan segera mengganti ketakutan dengan keamanan, dan melumat kezaliman dengan keadilan.

Imam Hasan al-Bashri—seorang ‘alim yang zuhud—pernah berucap kepada sekelompok demonstran yang hendak menggulingkan kekuasaan al-Hajjaj (seorang tirani yang kejam):

Jika (kezaliman tirani) ini adalah hukuman Allah atas (dosa-dosa) kalian, maka mustahil hukuman Allah bisa kalian hadapi dengan pedang-pedang kalian (akan tetapi hukuman Allah hanya bisa dihadapi dengan taubat dan takwa-red). Adapun jika ia adalah bala’ dan cobaan dari-Nya, maka bersabarlah sampai Allah memberi keputusan.” [Taariikh Dimasyq: 12/178]

Keempat: Jangan Sembarangan Menukil & Menyebarkan Berita yang Meresahkan, Khususnya yang Terkait dengan Isu Politik atau Pemimpin, Serahkan pada Ulama dan Para Ahli di Bidang Politik Syar’iyyah

Karena Allah berfirman: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita yang menyangkut keamanan atau ketakutan, mereka lantas menyiarkannya. Jikalau mereka sampaikan berita itu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”  [QS. an-Nisaa’: 83]

***