Thogut adalah seluruh peribadatan dan sesembahan kepada selain Allah, nah perintah perintah mengibadati Allah dan meninggalkan thogut itulah makna kalimat tauhid, karena peribadatan kepada selain Allah yaitu thogut adalah kebatilan.
وقال: (وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون). الأنبياء: 25
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada ila yang berhak diibadati kecuali Aku, maka ibadatilah Aku”.
Nah kalimat (لا إله إلا أنا فاعبدون) itulah kalimat tauhid dan makna (لا إله إلا الله).
Kalimat inilah yang pertama sekali yang dikatakan oleh setiap nabi kepada kaum, sebagaimana dalam ayat ayat berikut:
(وإلى عاد أخاهم هودا، قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره). الأعراف: 65.
Dan (Allah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka (nabi) Hud, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.
وقال: (وإلى ثمود أخاهم صالحا قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره) الأعراف: 73
Dan (Allah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka (nabi) Soleh, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.
وقال: (وإلى مدين أخاهم شعيبا قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره). الأعراف: 85
Dan (Allah mengutus) kepada kaum Madyan saudara mereka (nabi) Syu’aib, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.
Nah kalimat (ما لكم من إله غيره) itulah kalimat tauhid dan makna laa ilaha illa Allah.
Diantara ayat yang menjelaskan dan menafsirkan kalimat tauhid (لا إله إلا الله) adalah firman Allah Ta’ala:
(وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين وجعلها كلمة باقية في عقبه لعلهم يرجعون). الزخرف: 26-28.
26. Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah/ibadati, 27. kecuali (Rab) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. 28. Dan (lbrahim a. s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.
Nah ayat (إنني براء مما تعبدون) itulah makna (لا إله) dan (إلا الذي فطرني) itulah makna (إلا الله).
Dan firman Allah Ta’ala:
(قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضها بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون). آل عمران، 63.
64. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Nah ayat (ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله) itulah makna kalimat tauhid (لا إله إلا الله).
Diantara ayat yang menafsirkan tauhid adalah firman Allah:
(وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة) البينة: 5
5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ibadah) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
وقال تعالى: (وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو). التوبة: 31
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar mengibadati ilaa yang satu, tidak ada ila yang berhak diibadati selain-Nya”.
Itulah sebagian ayat yang menjelaskan makna (Laa Ilaha Illa Allah) dan hakekat tauhid. Nah kalau kita membaca dan merenungi sunnah kita dapati hadits hadits yang menjelaskan makna tauhid, diantaranya:
Dalam hadits pengutusan Mu’adz kenegeri Yaman, Rasulullah berwasiat kepadanya:
(فليكن أول ما تدعوهم إليه إلى أن يوحدوا الله). البخاري (7372).
Dalam riwayat lain
(فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله). البخاري (1458) ومسلم (31).
Riwayat ini menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tauhid pada riwayat yang pertama adalah mengikhlaskan ibadati kepada Allah
Dalam riwayat lain:
(فإذا جئتهم فادعهم إلى أن يشهدوا ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله). مسلم (19).
Maka dalam riwayat ini Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menjadikan syahdah (Laa Ilaa Illa Allah) sebagai makna Tauhid.
وفي حديث عمرو بن عبسة أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ما أنت؟ قال: (نبي الله) قال: آلله أرسلك؟ قال: (نعم) قال: بأي شيء؟ قال: (…وأن يوحد الله ولا يشرك به شيئا). مسلم (832).
Dalam hadits Amru Bin ‘Abasah bahwa beliau datang kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam seraya bertanya: siapakah anda? Beliau menjawab: (Nabiyullah), ia bertanya lagi: apakah Allah yang menutusmu? Beliau menjawab: (Ya benar), ia bertanya lagi: dengan apa? Beliau bersabda: (…dan untuk mentauhid Allah dan tidak dipersekutukan dengan sesuatu apapun”.
Dan dalam hadits Jibril yang panjang, tatkala ia bertanya kepada Rasullah shalallahu’alahi wasallam tentang islam, beliau menjawab:
(الإسلام: أن تشهد ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله…) الحديث رواه مسلم من حديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه.
Dalam riwayat lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
(أن تعبد الله ولا تشرك به شيئا…).
“Kamu mengibadati Allah dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apapun”.
Riwayat ini menjelaskan makna syahadah Laa Ilaha Illa Allah dalam riwayat yang pertama.
Dalam hadits Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang rukun islam, Rasulullah bersabda:
(بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله…) الحديث رواه البخاري ومسلم.
Dalam riwayat lain dengan lafadz:
(بني الإسلام على خمس: على أن يعبد الله ويكفر بما دونه…).
“islam didirikan diatas lima dasar: diatas mengibadati Allah dan kufur (menginkari) selain peribadatan kepada-Nya”.
Riwayat kedua ini menjelaskan makna syahadah Laa Ilaha Illa Allah dan Tauhid, yaitu keikhlasan beribadah kepada Allah dan mengingkari seluruh peribadatan kepada selain Allah, karena itu adalah kebatilan.
Dan menjelaskan juga bahwa agama islam adalah agama tauhid karena seluruh ibadah wajib di ikhlaskan kepada Allah Ta’ala.
Dalam hadits lain:
(من قال : لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله) رواه مسلم (رقم: 139). وفي روية: (من وحّد الله…). رواه أحمد (رقم: 27213/ 27755)، وابن حبان في صحيحه (رقم:171) والبزار في مسنده (رقم:2768) وأبو عبيد في كتاب الأموال (رقم: 47).
“Barangsiapa yang mengatakan “Laa Ilaha Illa Allah” dan kufur terhadap apa yang diibadati selain Allah maka haram harta dan darahnya, dan hisabnya hanya atas Allah”. (HR, Muslim).
Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mentauhidkan Allah…”.
Makna inilah (mengikhlaskan ibadah kepada Allah) yang dipahami oleh para shahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam tentang kalimat tauhid (Laa Ilaha Illa Allah) dan kalimat yang mereka gunakan dalam perkataan mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jabir Bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang menjelaskan sifat haji Nabi shalallahu’alaihi wasallam:
(فأهلَّ بالتوحيد “لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك).
“Maka ia (Rasulullah) bertalbiyah dengan tauhid, kami datang memenui panggilan-Mu, kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya segala puji dan nikmat serta kerajaan (kekuasan) adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Maka talbiyah haji tersebut dinamakan dengan tabiyatuttauhid, karena makna dan hakekatnya adalah keikhlasan beribadah kepada Allah, sebagaimana segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik Allah semata, maka begitu juga seluruh ibadah hanya berhak diperuntukkan kepada-Nya.
Makna ini pulalah yang dipahami oleh ulama islam yang memahami hakekat dakwah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, sebagaimana dalam sebagian ungkapan mereka:
Imam Syafi’i berkata:
سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْكَلاَمِ وَالتَّوْحِيْدِ، فَقَالَ: مُحَالٌ أَنْ نَظُنَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَلَّمَ أُمَّتَهُ الاسْتِنْجَاءَ، وَلَمْ يُعَلِّمْهُمْ التَّوْحِيْدَ، وَالتَّوْحِيْدُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “، فَمَا عَصَمَ بِهِ الدَّمَ وَالْمَالَ حَقِيْقَةُ التَّوْحِيْدِ.
“Imam Malik pernah ditanya tentang masalah kalam dan tauhid, maka beliau menjawab: Mustahil kalau Nabi mengajarkan kepada umatnya tentang tata cara istinja’ (buang kotoran) tetapi tidak mengajarkan mereka tentang tauhid. Tauhid adalah apa yang dikatakan oleh Nabi: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan Laa Ilaha Illa Allah, apa yang dapat menjaga darah dan harta maka itulah hakekat tauhid”.[1]
Imam Ad Darimi –salah seorang ulama syafi’iyah- berkata:
(تفسير التوحيد عند الأمة وصوابه: قول لا إله إلا الله وحده لا شريك له).
“Tafsir tauhid yang benar menurut umat (islam) adalah: ucapan “Laa Ilaha Illa Allah” dan tidak ada sekutu bagi-Nya”[2].
Imam Abul Abbas Ibnu Suraij –salah seorang ulama syafi’iyyah- ditanya:
)ما التوحيد ؟ قال: توحيد أهل العلم وجماعة المسلمين : أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمداً رسول الله ، وتوحيد أهل الباطل من المسلمين الخوض في الأعراض والأجسام ، وإنما بعث النبي صلى الله عليه وسلم بإنكار ذلك).
Apakah (yang dimaksud dengan) tauhid? Beliau menjawab: tauhid para ulama dan jama’ah kaum muslimin adalah: syadahah “Laa Ilaha Illa Allah” dan Muhammad adalah Rasulullah, sedangkan tauhid orang orang yang sesat dari kalangan kaum muslimin adalah sibuk membahasa masalah Al A’raadh dan Al Ajsaam[3], dan Nabi shalallahu’alaihi wasallam diutus untuk menginkari hal itu”.[4]
Itulah makana dan kakekat kalimiat tauhid, jadi ia bukanlah sekedar ucapan lisan tanpa ilmu dan amalan, bukanlah sekedar keyakinan tanpa aplikasi tuntuan dan persyaratan, tetapi ia adalah kalimat yang mulia mengandung makna yang kekekat yang agung yang wajib di pelajari dan diketahui, dan keonsekwensi yang harus diaplikasikan.
Semogah Allah Ta’ala membimbing kita semua untuk memahmai kalimat tauhid dan mengamalkan dalam kehidupan sehari hari.
Wassalam.
*Disampaikan oleh Penulis pada kajian Umum di Islamic Center Al-Hunafa’ Masjid ‘Aisyah Lawata Mataram pada Jum’at malam tanggal 04/02/2011
[1] Siyar A’lam Nubala 3/3282 oleh adz-Dzahabi.
[2] Naqdu ad Darimi ala Marriisi” hal: 6
[3] Al A’raadh (sifat suatu benda) dan Al Ajsaam (tempat berdirinya sifat) dua istilah ahlulkalam yang mereka gunakan dalam berdalil untuk menetapkan bahwa alam semesta ini adalah makhluk, maka setiap yang makhluk tentu ada yang menciptkan, itulah Allah. Ini adalah metoda yang bid’ah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah dan manhaj salaf dan telah di hujat dan diingkari oleh para ulama Ahlussunnah.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Qowamussunnah dalam kitab “Al Hujjah fi bayanil mahajjah” (1/107).
Komentar Terbaru