Kaya hati, atau sering diistilahkan dengan “qona’ah”, artinya adalah nrimo (menerima) dan rela dengan berapapun yang diberikan Allah ta’ala.[1]
Berapapun rizki yang didapatkan dia tidak mengeluh. Mendapat rizki banyak; bersyukur, mendapat rizki sedikit; bersabar dan tidak mengumpat.
Andaikan kita telah bisa mengamalkan hal di atas, saat itulah kita bisa memiliki kans besar untuk menjadi orang terkaya di dunia. Ujung-ujungnya, keberuntunganlah yang menanti kita, sebagaimana janji sang Musthafa shallallahu’alaihiwasallam,
“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ”
“Beruntunglah orang yang berislam, dikaruniai rizki yang cukup dan dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan Allah”. (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr).
Berdasarkan barometer di atas, bisa jadi orang yang berpenghasilan dua puluh ribu sehari dikategorikan orang kaya, sedangkan orang yang berpenghasilan dua puluh juta sehari dikategorikan orang miskin. Pasalnya, orang pertama merasa cukup dengan uang sedikit yang didapatkannya, adapun orang kedua terus merasa kurang walaupun uang yang didapatkannya sangat banyak.
Bagaimana mungkin orang yang berpenghasilan dua puluh ribu dianggap berkecukupan, padahal ia harus menafkahi istri dan anak-anaknya?
Ya, selain karena keberkahan yang Allah limpahkan dalam hartanya, juga karena ukuran kecukupan menurut Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah sebagai berikut:
“مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ؛ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا”
“Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk hari itu; seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya”. (HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh al-Albani).
Kiat membangun pribadi yang qona’ah
Di antara resep sukses membentuk jiwa yang qona’ah, adalah dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rizki hanyalah di tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah ta’ala, serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Allah ta’ala mengingatkan,
“وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا”. هود: 6.
Artinya: “Tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya”. (QS. Hud: 6).
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menasehatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوْتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ، فَلاَ تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، وَاتَّقُوا اللهَ أَيُّهَا النَّاس، وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ، خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ”.
“Sesungguhnya kalian tidak akan mati kecuali setelah mendapatkan seluruh rizki (yang Allah takdirkan untukmu) secara sempurna. Maka janganlah kalian tidak sabaran dalam menanti rizki. Bertakwalah kepada Allah wahai manusia! Carilah rizki secara proporsional, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”. (HR. Al-Hakim dari Jabir dan dinilai sahih oleh al-Albani).
Buah manis qona’ah
Sebagai suatu karakter yang terpuji, qona’ah tentunya menumbuhkan sifat-sifat positif lainnya, yang tidak lain adalah buah dari qona’ah itu sendiri. Di antaranya[2]:
1. Qona’ah menjadikan seseorang tidak mudah tergiur untuk memiliki harta yang dimiliki orang lain.
Karena dia merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Sehingga dia selalu hidup dalam ketentraman dan kedamaian batin. Sebab dia tidak pernah iri maupun dengki dengan kelebihan nikmat yang Allah limpahkan pada orang lain.
Karakter istimewa inilah yang Allah rekam sebagai salah satu perangai para sahabat Rasul shallallahu’alaihiwasallam, tatkala Dia menceritakan kondisi mereka yang fakir,
“يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً “. البقرة: 273.
Artinya: “(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain”. (QS. Al-Baqarah: 273).
2. Qona’ah menempa jiwa seseorang untuk tidak mengadu tentang kesusahan hidupnya melainkan hanya kepada Allah Yang Maha Kaya.
Inilah salah satu tingkatan tawakal tertinggi, yang telah dicapai oleh para nabiyullah. Sebagaimana yang Allah ceritakan tentang Nabi Ya’kub ‘alaihissalam,
“قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللّهِ”. يوسف: 86.
Artinya: “Dia (Ya’kub) berkata: hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”. (QS. Yusuf: 86).
Mengapa para kekasih Allah hanya mengadu kepada-Nya? Karena keyakinan mereka yang begitu mendalam bahwa dunia seisinya tidak lain hanyalah kepunyaan Allah. Lantas mengapa tidak meminta saja kepada Yang Maha Memiliki segalanya, dan kenapa harus meminta kepada dzat yang apa yang dimilikinya tidak lain hanyalah bersumber dari Yang Maha Memiliki??
Namun realita berkata lain. Rata-rata kita masih lebih suka mengetuk pintu para makhluk sebelum mengetuk pintu Sang Khalik. Karena itulah para ulama mengingatkan, “Siapakah di antara kita yang meminta kebutuhannya kepada Allah, sebelum ia memintanya kepada para manusia?”.
Qona’ah >< bekerja dan ikhtiar?
Janganlah dipahami dari seluruh keterangan di atas, bahwa kita tidak perlu bekerja dengan alasan qona’ah. Sehingga cukup duduk berpangku-tangan di rumah, dengan dalih kalaupun sudah saatnya hujan emas, niscaya akan turun juga!
Qona’ah tidaklah seperti itu, karena qona’ah maksudnya: seorang hamba bekerja semampunya dengan tetap memperhatikan rambu-rambu syariat. Setelah itu berapapun hasil yang didapatkan dari kerjanya, diterima dengan penuh rasa ridha tanpa menggerutu.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hakekat tawakal dan korelasinya dengan ikhtiyar dalam sebuah perumpamaan yang sangat detail,
“لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا”.
“Andaikan kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya kalian akan mendapatkan rizki sebagaimana burung memperoleh rizki. Dia pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong, lalu pulang di sore harinya dalam keadaan perut kenyang”. (HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar bahwa hadits ini hasan sahih).
Ya, tentunya supaya burung bisa memenuhi perutnya ia harus ‘mencari nafkah’! Dan inilah tawakal yang sebenar-benarnya; berikhtiar lalu hasilnya serahkan pada Allah ta’ala.
Wallahu a’la wa a’lam…
@ Kedungwuluh Purbalingga, 7 Ramadhan 1430 / 28 Agustus 2009
Komentar Terbaru