Terlepas dari itu semua, tujuan risalah kecil ini adalah untuk mengajak kita semua agar waspada dari akar permasalahan yang memunculkan kelompok-kelompok ekstrim tersebut. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda memberi isyarat tentang mereka:
إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا َرُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْءًا لِلإِسْلاَمِ اِنْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ…
“Sungguh yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah munculnya seseorang yang membaca al-Qur-aan hingga terlihat dia sangat senang membacanya, dia menjadi pembela Islam, lalu tiba-tiba ia tanggalkan pakaian Islam, kemudian mencampakkannya ke belakang punggungnya, lantas ia berbuat lalim terhadap tetangganya dengan pedang dan melempar tudingan syirik padanya.” [Hadist Shahih, Silsilah ash-Shahihah no. 3201, Imam al-Albani]
Hadits tersebut selain memastikan perihal keberadaan kaum ekstrimis yang muncul di tubuh Islam, juga memberi isyarat bahwa pembunuhan (tanpa hak) atas nama agama berawal dari takfir membabibuta (pengakfiran tanpa ilmu), gampang menuduh orang telah berbuat syirik dan keluar dari Islam. Inilah akar masalah yang harus diberangus untuk memotong urat nadi terorisme berlabel jihad.
SALAH DALAM MEMAHAMI “LAA ILAAHA ILLALLAAH”
Sejatinya, ini merupakan akar induk segala macam kesesatan dan penyimpangan di muka bumi, tidak terkecuali ideologi takfir yang kemudian bereinkarnasi menjadi terorisme. Kaum ekstrimis tidak memahami kalimat tauhid yang asasi ini sesuai pemahaman Qur-aani dan pemahaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam beserta para sahabatnya yang terbimbing lurus.
Sebagaimana termaktub dalam buku-buku Sayyid Quthub ‘afallaahu’anhu yang menjadi rujukan ideologi takfir abad ini; mereka menafsirkan kalimat Laa ilaaha illallaah dengan ungkapan ‘’Laa haakimiyyata illallaah” (Tidak ada Hakim kecuali Allah). [lihat Fii Zhilaalil Qur-aan: 2/1006, karya Sayyid Quthub]
Sampai-sampai mereka mengatakan:
وَالَّذِيْنَ لاَ يُفَرِّدُوْنَ اللهَ-سبحانه-بِالْحَاكِمِيَّةِ-فِيْ أَيِّ زَمَانٍ وَفِيْ أَيِّ مَكَانٍ-هُمْ مُشْرِكُوْنَ
“Orang-orang yang tidak mengesakan Allah dengan (tauhid) al-Haakimiyyah di manapun dan kapanpun, maka mereka adalah orang-orang musyrik.” [lih. Fii Zhilaalil Qur-aan awal tafsir Surat al-Anfaal, oleh Sayyid Quthub]
Dengan pemahaman sesat ini, mereka telah mengkerdilkan makna kalimat tauhid dari yang sesungguhnya sebagaimana tafsiran Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu “Laa ma’buuda bihaqqin illallaah” (Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan haq, kecuali Allah)
Terbukti dalam prakteknya, kaum ekstrimis yang mengkultuskan ideologi ini menjadikan para penguasa di negeri-negeri kaum muslimin sebagai Thagut (pemimpin kekafiran) utama yang harus dilenyapkan, karena mereka dianggap telah menjadi tandingan bagi Allah dalam hal hukum (yang mereka istilahkan dengan Tauhid al-Haakimiyyah).
Kemudian kaum ekstrimis membangun al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan permusuhan) di atas ideologi ini, yang sepakat dicintai dan yang menentang berarti kafir, halal darahnya, harta serta kehormatannya boleh dirampas. Akibatnya, terjadilah apa yang terjadi. Pengeboman, pembunuhan dan perampokan atas nama jihad dan memberantas kemungkaran. (Na’uudzubillaah, seperti inikah Islam yang penuh rahmat mengajarkan..?!!).
DANGKALNYA ILMU
Boleh dibilang, kebodohan kaum ekstrimis dalam memahami nash-nash syari’at adalah akar pokok yang melahirkan ideologi takfir mereka. Tidak ada satupun di dalam barisan mereka seorang ulama yang mumpuni dalam keilmuan, sebagaimana dahulu tidak ada seorang pun dari para Sahabat Rasulullah yang berada dalam barisan nenek moyang mereka (kelompok Khawarij) ketika melakukan teror terhadap kekhalifahan yang mulia ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu’anhu dan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu (Hayaatus Su’adaa hal. 140].
Mereka begitu serampangan menafsirkan ayat-ayat al-Qur-aan. Ayat yang sejatinya ditujukan kepada orang-orang kafir, dengan gampangnya mereka arahkan kepada orang-orang muslim terutama para penguasa, tanpa memperhatikan penjelasan para ulama.
SOLUSINYA ADALAH; ILMU YANG SHAHIH, AQIDAH YANG BENAR
Jadi akar permasalahan terorisme adalah ideologi (baca: aqidah) menyimpang yang lahir dari rahim kebodohan akan syari’at Islam yang sesungguhnya. Dari sini tentu kita bisa menentukan solusinya, yaitu dengan upaya bersama menanamkan ilmu dan aqidah yang shahih kepada generasi muda Islam. Solusi inilah yang ditempuh di zaman Sahabat dalam menghadapi ganasnya pemikiran Khawarij.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu (ulama besarnya para Sahabat) pernah mendatangi ribuan ekstrimis Khawarij yang tengah bersiap menggulingkan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu. Pada pertemuan tersebut Ibnu Abbas seorang diri. Beliau menanyakan alasan mereka memberontak. Ternyata takfir adalah alasannya, mereka menganggap Ali Radhiallahu’anhu telah kafir karena (anggapan yang keliru bahwa) Ali Radhiallahu’anhu telah berhukum dengan selain hukum Allah. Kemudian Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu menepis anggapan mereka dengan jawaban-jawaban yang sarat akan ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang tafsir ayat-ayat al-Qur-aan dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Disebutkan bahwa setelah dialog yang penuh berkah tersebut, 2.000 orang bertaubat dan keluar dari pemahaman Khawarij. Inilah berkah ilmu dan ulama. [Kisah ini derajatnya Hasan, diriwayatkan oleh an-Nasaa-i dalam al-Kubro: 5/165, al-Baihaqi dalam as-Sunan: 8/179, dan al-Hakim: 2/164. Dialog lengkapnya bisa dibaca di Hayaatus Su’adaa hal. 140-144]
Kisah yang tidak kalah menariknya diriwayatkan dalam Shahih Muslim (no. 191) tentang seorang Tabi’in bernama Yazid al-Faqir Rahimahullaah. Dia menceritakan bagaimana dulunya dia dan kaumnya adalah para pengagum berat pemikiran Khawarij, dia menganggap bahwa orang yang berbuat dosa besar akan kekal di neraka. Dia bertekad untuk berangkat haji lalu menghasung orang-orang untuk mengikuti pemahaman Khawarij.
Dia dan rombongannya melewati suatu kota yang di situ Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu’anhu (salah seorang Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam) tengah menyampaikan ceramah di majelis ilmu. Saat itu Jabir membawakan hadits-hadits tentang sekelompok orang (pelaku dosa besar) yang dikeluarkan dari neraka lalu dimasukkan ke dalam surga. Yazid al-Faqir lalu berdialog dengan Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam yang mulia tersebut. Melalui dialog yang sarat akan keberkahan ilmu itu, Jabir meluruskan pemikiran Yazid yang menyimpang tentang takfir, Yazid pun taubat dan kembali kepada kaumnya menyampaikan ilmu yang didapatnya dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu’anhu. Yazid menyeru kepada kaumnya:
“Celaka kalian (dikarenakan aqidah Khawarij yang kalian yakini). Apakah kalian menganggap Syaikh (Jabir t) berdusta atas nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam? Maka kami semua menyatakan ruju’ (lepas dari pemahaman Khawarij). Demi Allah..!! Tidak ada satu orang pun dari kami yang menolak kecuali hanya seorang saja.”
Sekali lagi inilah keberkahan ilmu dan tarbiyah ulama, yang bisa membendung gelombang fitnah di kemudian hari.
***
Disarikan oleh Redaksi al-Hujjah dari sumber bacaan:
Kasyful Astaar ‘anma fii Tanzhiimil Qoo’idah, Cet.-1, Daarul Atsiir 1430-H, ‘Umar bin ‘Abdul Hamid al-Bathusy.
Aatsaarul Fitan, Cet-1, 1431-H, Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr.
Hayaatus Su’adaa, Cet-1, Maktabah al-Ghuroba, 1429-H, Shaalih bin Thoha Abdul Waahid.
Fii Zhilaalil Qur-aan (Maktabah Syamilah), Sayyid Quthub.
Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
Komentar Terbaru