Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. asy-Syuura:30).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Allah memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…” [Taisiirul Kariimir Rahmaan: 759]
Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.
Inilah makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan: “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…” [ad-Daa-u wad Dawaa: 68]
Oleh sebab itu, Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allah dan rasul-Nya. Allah berfirman (artinya):
“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan) “berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi” [Taisiirul Kariimir Rahmaan: 42]
Maka kematian para pelaku maksiat merupakan salah satu sebab berkurangnya kerusakan di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:
وَالْعَبْدُ الْفَـاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِـلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
“…(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)” [Bukhari: 6512, Muslim: 2245]
SEBAB UTAMA KERUSAKAN DI MUKA BUMI
Imam Qatadah dan as-Suddi berkata: “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar” [Tafsir al-Qurthubi: 4/40]
Demikian juga perbuatan bid’ah dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah, pada hakekatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi.
Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi ketika ditanya tentang makna firman Allah:
وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” [QS. al-A’raaf: 56].
إنَّ اللهَ بَعَثَ محَمَّداً إلَى أَهْلِ الأَرْضِ وَهُـمْ فِيْ فَسَادٍ فَأَصْلَحَهُمُ اللهُ بِمُحَمَّدٍ r ، فَمَنْ دَعَا إلَى خِلاَفِ مَا جَاءَ بِهِ محَمَّدٌ r فَهُوَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ فِيْ الأَرْضِ
Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi” .
JALAN KELUAR SATU-SATUNYA
Karena musibah dan kerusakan di muka bumi disebabkan oleh dosa-dosa manusia, maka pintu pertama untuk segera lepas adalah taubat yang nasuuh. Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah:
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka” .
Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu pernah berucap dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…” .
Maka kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya , untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).
Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [Taisiirul Kariimir Rahmaan: 298] .
Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada manusia.
Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka. [Miftaahu Daaris Sa’aadah: 1/64]
Rasulullah bersabda (artinya): “Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosa baginya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan…” [at-Tirmidzi: 2682, Ibnu Majah: 223, dishahihkan oleh Imam al-Albani]
Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan besar dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di tengah-tengah manusia, yang ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.
Dalam hal ini, Imam al-Hasan al-Bashri pernah berkata:
مَوْتُ الْعَالِمِ ثُلْمَةٌ فِى الإِسْلاَمِ لاَ يَسُدُّهَا شَىْءٌ مَا اخْتَلَفَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ
“Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti” [Riwayat ad-Daarimi dalam as-Sunan: 324]. ***
Komentar Terbaru