Bagi mereka yang gagal mendulang kemuliaan dari jamuan tersebut, sungguh tak ada kalimat yang bisa menggambarkan betapa meruginya mereka. Karena memang, tidak semua dari kedua golongan tersebut sukses meraih kemuliaan Ramadhan.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِـهِ إلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ .
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu, kecuali rasa lapar dan haus.” [Hadits Shahih, Ahmad: II/441 dan 373]
Jika demikian, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui apakah kita termasuk orang-orang yang sukses mendulang rahmat dan maghfirah Allah di bulan Ramadhan. Setidaknya ada beberapa indikasi pasca Ramadhan yang bisa Anda jadikan parameter ukur dalam masalah ini.
(1) Menjadi Orang yang Ikhlas
Puasa Ramadhan menggembleng kita dalam mengikhlaskan niat, dimana puasa Ramadhan hanya dilakukan untuk Allah semata, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ: الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللهُ تَعَلَى: إلاَّ الصِّيَامُ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أَجْزِيْ بِـهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amal anak Adam akan dibalas berlipat ganda. Satu kebaikan akan dibalas 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah berfirman: ‘Kecuali puasa. Puasa ini untuk diri-Ku dan Aku akan membalasnya (dengan pahala tanpa batas). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya demi diri-Ku….” [Shahih Muslim: 1151]
Inilah esensi ajaran tauhid. Jika ibadah Anda setelah Ramadhan tidak lagi bergantung pada tendensi selain-Nya, seperti riya’ dan sum’ah yang tergolong syirik kecil (lebih-lebih syirik besar), maka ini boleh jadi—Insya Allah—pertanda yang baik diterimanya amal Ramadhan Anda.
(2) Semakin Ringan dan Nikmat Dalam Melakukan Amal Ketaatan
Puasa Ramadhan juga menempa seseorang untuk meningkatkan kadar keikhlasan ibadahnya. Karena di dalam puasa, hamba tidak dituntut sekedar menahan makan, minum dan syahwat semata, tapi juga lisan dan hatinya dari ketidaksabaran atau dari amal yang tidak bermanfaat.
وَإذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإنْ سَبَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“…Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah melakukan rafats (seperti berbicara porno atau keji) dan tidak juga membuat kegaduhan. Jika ada orang yang hendak mencaci atau menyerangnya, hendaklah ia (bersabar dan) berkata: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa…” [Shahih Bukhari:IV/88]
Dan ini sudah barang tentu membutuhkan tingkat keikhlasan yang lebih. Karena dengan keikhlasan seadanya, sangat sulit untuk mampu menghindar dari larangan-larangan semisal dalam hadits di atas.
Ketika semakin tinggi keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula keridhaannya terhadap Allah. Semakin besar keridhaan hamba kepada Allah, semakin ringan baginya dalam melaksanakan ketaatan pada-Nya. Jika Anda merasakan hal tersebut di luar Ramadhan, maka berbahagialah. Anda yang tadinya merasa terbelenggu ketika hendak melangkah untuk beramal, Anda yang kemarin selalu tidur berselimut futur (malas, jenuh dalam beramal), tiba-tiba menjadi orang yang bangkit beramal shalih setelah Ramadhan, maka tersenyumlah dan ucapkan Tahmid (Alhamdulillah), karena Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
Setelah merasa ringan dalam melakukan amal ketaatan (terutama ibadah yang wajib), dan Anda telah istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, maka pada tahap berikutnya Anda akan merasakan kenikmatan dalam beribadah. Jiwa dan raga Anda merasa butuh untuk beribadah. Hati akan terasa hampa dan merugi ketika luput dari satu bentuk ibadah, sekalipun tanpa disengaja.
(3) Semakin Jauh dari Maksiat
Ini karena puasa adalah tameng yang membentengi hamba dari perbuatan maksiat. Sebagaimana hadits Rasulullah r:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأحْسَنُ لِلْفَرْجِ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih tangguh memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa bisa menjadi perisai baginya (dari kemaksiatan).” [Shahih Bukhari: IV/106 dan Shahih Muslim: 1400 dari sahabat Ibnu Mas’ud]
Maka jika keadaan Anda lebih jauh dari maksiat jika dibandingkan dengan kondisi Anda sebelum Ramadhan, maka ber-husnuzzon-lah kepada Allah, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
(4) Cinta pada al-Qur-an
Orang-orang yang sukses di bulan Ramadhan akan bertambah rajin membaca al-Qur-an di luar Ramadhan jika dibandingkan dengan waktu sebelum Ramadhan. Karena bulan ini adalah “Bulannya al-Qur-an”, tiada hari tanpa membaca al-Qur-an. Sehingga kebiasaan mulia ber-wirid dengan tilawah al-Qur-an tentunya akan tetap berlanjut setelah Ramadhan.
(5) Menjadi Dermawan
Hikmah puasa memberikan kita kesempatan untuk merasakan penderitaan kaum dhuafa’ dan fakir miskin. Dari sini diharapkan tumbuh kesadaran sosial yang tinggi dengan menyantuni mereka, menyayangi serta meringankan beban mereka. Kewajiban zakat fithrah di akhir Ramadhan juga mengajarkan hal ini. Selepas Ramadhan, orang-orang yang sukses akan lebih dermawan.
(6) Loyalitas (Wala’) Sesama Muslim Semakin Kokoh
Ramadhan mengajarkan kita untuk berbagi antar sesama. Renungkanlah bagaimana Allah menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang menyediakan ifthar (buka puasa) bagi saudaranya:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, maka baginya pahala orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” [Ahmad: IV/114-116, shahih menurut at-Tirmidzi: 804]
Ramadhan benar-benar menjadi momentum bagi kita untuk merekonstruksi makna al-Wala’ yang sempat runtuh dan terkubur. Dengan demikian, rasa cinta dan persaudaraan Islam pun akan bersemi. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan, senantiasa menjaga bangunan al-Wala’ tetap kokoh menjulang, baik di luar Ramadhan sekalipun.
(7) Do’a yang Terkabul
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ
“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa, punya satu kesempatan do’a yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka.” [Hadits Shahih, Ibnu Majah: I/557]
Jika do’a yang Anda panjatkan saat Ramadhan menjadi kenyataan, maka ucapkanlah kalimat syukur, kemudian Anda boleh berharap dengan yakin, bahwa Anda telah meraih fadhilah Ramadhan.
(8) Semakin Mendalami Ilmu Agama
Boleh dibilang ini adalah indikasi terbesar bagi seorang hamba yang telah meraih sukses di bulan Ramadhan. Karena buah dari sukses Ramadhan adalah dilimpahkannya berbagai kebaikan kepada hamba. Dan Allah jika menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya yang terpilih, Dia terlebih dahulu akan mempersiapkan hamba-Nya tersebut untuk memahami ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki baginya kebaikan oleh Allah, Maka Dia akan memberikan pemahaman agama kepadanya.” [Shahih Bukhari: 71 dan Shahih Muslim: 1037]
Mafhum mukholafah dari hadits ini adalah; bahwa orang yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya (berarti) tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah [al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 49]. Dan yang demikian ini mustahil bagi mereka yang benar-benar sukses di bulan Ramadhan di mata Allah. Orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan pasti akan mendapat limpahan kebaikan dari Allah, dan indikasinya akan terlihat jelas setelah Ramadhan, dari usahanya yang lebih serius dalam menuntut dan memahami ilmu agama.
Imam Nawawi (wafat th. 676 H) mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan ilmu, mendalami agama, dan dorongan kepadanya. Sebabnya adalah karena ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala.” [Syarh Shahih Muslim: VII/128]
Jika kita renungkan ucapan Imam Nawawi: “…ilmu akan menuntunnya kepada ketakwaan kepada Allah Ta’ala”, maka akan nampak jelas korelasi antara mendalami ilmu agama dengan tujuan utama puasa Ramadhan yang disebutkan dalam ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. al-Baqarah: 183]
Logikanya; jika Anda sukses menjalani Ramadhan, maka Anda pasti akan menjadi orang yang bertakwa, sementara ilmu adalah kendaraan yang akan mengantarkan Anda kepada takwa (sebagaimana ucapan Imam Nawawi di atas). Sehingga bisa ditarik garis kesimpulan bahwa: orang-orang yang sukses menjalani Ramadhan akan dipersiapkan oleh Allah untuk mendalami ilmu agama, demi meraih apa yang telah Ia janjikan sebagai buah dari berpuasa yaitu takwa.
Setelah meraih mahkota takwa, maka bersiap-siaplah seorang hamba mendulang kemuliaan demi kemuliaan, kebaikan demi kebaikan yang melimpah dan beragam jenisnya.
***
Disusun oleh Redaksi al-Hujjah dari berbagai sumber bacaan, di-muroja’ah oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
Komentar Terbaru