Dari segi aspek agama, pada abad 12 H/17 M keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam.

Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya.

Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.

Daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) juga tidak luput, di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim).

Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya al-Qawa’idul Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)

Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat (susah maupun senang).

Dalam keadaan politik dan keagamaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)

Pada abad 12 H (17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejed, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

(Bani Tamim) yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “(Artinya) bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)

Tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh, beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama (Tarikh Nejed: 1/30, Ibn Ghannam -red). Kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejed, belum berumur 10 tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz. (Ulama Nejed: 1/29-30, Ibnu Bassam -red)

Setelah beliau kembali dari petualangan menuntut ilmu, beliau mulai perjuangannya dalam mendakwahkan tauhid dan sunnah as-shahihah. Dakwah beliau diberkahi oleh Allah, berkembang pesat bahkan diterima oleh penguasa Dir’iyyah waktu itu, Muhammad bin Su’ud. Maka terjalinlah perjanjian yang penuh berkah di antara keduanya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Su’ud berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Su’ud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.

Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut?

Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan Wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.

Sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَــيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

Jawaban Syaikh Terhadap Tuduhan Dusta Tanpa Bukti

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengklarifikasi fitnah keji yang dialamatkan kepadanya, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim:

Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam benakku, seperti tuduhannya:

* Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.

* Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.

*  Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.

* Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh.

* Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

* Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.

* Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.

* Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.

Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: Sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6).

(Baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahhab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya).

***

…Bersambung

*) Tulisan ini dilansir oleh www.muslim.or.id dan dipublikasikan ulang oleh Redaksi al-Hujjah dengan sedikit perubahan untuk penyesuaian halaman, lalu di-muroja’ah oleh: al-Ustadz Fakhruddin Abdurrahman, Lc.