Sejarah emas Islam mencatat bahwasanya kemenangan terbesar umat ini pada Perang Badr terjadi di bulan Ramadhan, tepatnya 2 tahun setelah hijrah. Dan itu tentu saja tidak lepas dari sebab munajat dan do’a kepada Rabbul ‘Aalamiin. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu mengisahkan:

 

 لَقَدْ رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا مِنَّا إِنْسَـانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ

Sungguh aku melihat kami pada malam (perang) Badr, di mana tidak ada satu pun di antara kami melainkan ia tertidur, kecuali Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau sholat menghadap pohon dan berdo’a (kepada Allah) sampai subuh…” [Hadist Shahih, riwayat Ahmad no. 1161]

Dan kita tahu bahwa keeseokan harinya, Allah menjawab do’a tersebut dengan menurunkan ribuan bala tentara Malaikat untuk menolong kaum muslimin yang berjumlah sedikit dan lemah waktu itu. Ini adalah salah satu bukti, betapa dahsyatnya do’a di bulan yang suci ini.

Mereka yang dekat dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, sangat memahami betapa Ramadhan adalah waktu yang istimewa untuk memanjatkan do’a tanpa rasa takut akan ditolak. Lihatlah bagaimana ‘Aisyah radhiallahu’anha meminta do’a khusus dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam untuk dibaca saat Lailatul Qadr, beliau radhiallahu’anha berkata:

Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, jikalau aku mendapati satu malam (Ramadhan) ternyata adalah Lailatul Qadr, maka do’a apa yang aku ucapkan? Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam menjawab; ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pemurah. Engkau mencintai maaf, maka maafkanlah aku.” [Sunan Ibnu Majah no. 3850, dishahihkan al-Albani]

SUMBER-SUMBER KEKUATAN DO’A

Do’a adalah sebab terkuat dalam menolak perkara-perkara yang tidak disukai (seperti musibah dan bencana), dan do’a juga merupakan sebab terkuat dalam usaha meraih cita-cita. Namun pengaruh yang dihasilkan dari kekuatan do’a setiap hamba, berbeda-beda.

Berikut ini adalah beberapa perkara yang sepatutnya diilmui oleh setiap mukmin dalam berdo’a kepada Allah, agar do’a yang dipanjatkannya memberikan pengaruh yang luar biasa ampuhnya baik di kehidupan dunia maupun di akhirat.   

Yakin Akan Terkabulnya Do’a

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالإِجَـابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Berdo’alah kepada Allah, disertai keyakinan kalian akan ijabah (terkabulnya do’a), dan ketahuilah oleh kalian, bahwa Allah tidak menerima do’a dari hati yang lupa lagi lalai” [Hadits Hasan, lihat ash-Shahihah: 596]

Do’a yang dipanjatkan seorang hamba tidak akan memberikan pengaruh apa-apa baginya, selama hatinya hampa dari mengingat Allah. Lalai dari Allah (sebagai Dzat yang menjadi tujuan do’anya), justru akan membatalkan dan melemahkan kekuatan do’anya.

Menjaga Kehalalan

Darah dan daging yang tumbuh dari makanan yang haram bisa menjadi penghalang utama terkabulnya do’a seorang hamba, sekalipun hamba tersebut telah mewujudkan faktor-faktor terbesar terkabulnya do’a. Disebutkan dalam hadits yang shahih:

ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ! يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّ يُسْتَجَابُ لِذٰلِكَ؟

(Bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam) berkisah tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, dia mengangkat tangannya tinggi ke langit seraya berseru, Yaa Rabb…. Ya Rabb….(menandakan hajatnya yang sangat mendesak), namun (ternyata) makanan yang dikonsumsinya haram, pakaiannya bersumber dari yang haram, dan tumbuh dari bekal yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?” [Shahih Muslim no. 1015]

Para ulama menjelaskan bahwa laki-laki yang dikisahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits di atas telah mengumpulkan beberapa faktor terbesar yang bisa menyebabkan terkabulnya do’a, di antaranya adalah; kondisi musafir, ditambah lagi kebutuhan genting yang mendesak, serta sifat ketundukan dan kehinaan dalam meminta kepada Allah. Namun semua itu ternyata tidak berarti apa-apa di hadapan Allah, karena sang hamba bergelut dengan keharaman dan jauh dari yang halal.

Sikap Memelas Kepada Allah

Hendaknya seorang hamba menampakkan rasah butuhnya yang mendesak kepada Allah tatkala berdo’a. Hendaknya ia memperlihatkan keputusasaannya dari segenap kekuatan dan penolong kecuali dari Allah semata.

Di dalam Kitab az-Zuhd (hadits no. 7) karya Imam Ahmad rahimahullaah, disebutkan bahwasanya seorang ulama salaf mengatakan:

Aku tidak menemukan gambaran yang lebih pantas bagi seorang mukmin (ketika berdo’a) daripada gambaran (rasa takut dan harap) seorang laki-laki di atas sepotong kayu di tengah lautan, lalu dia menyeru; Yaa Rabb…Yaa Rabb…, agar sudi kiranya Allah menyelamatkannya.”

Jangan Tergesa-gesa dan Putus Asa

Janganlah seorang hamba berprasangka buruk kepada Allah dengan menganggap do’anya lambat terkabul atau tidak dijawab sama sekali, sehingga ia menyerah dan berputus asa dari do’a. Layaknya seorang petani yang menggarap lahan dan menanam, ia merawat dan menyiraminya, namun ia menganggap tanamannya sangat lamban menghasilkan buah, sehingga ia meninggalkan tanaman tersebut sampai layu dan akhirnya mati, diapun dipastikan tidak memperoleh apa-apa.

Rasulullah r bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallaahu’anhu:

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَالَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِـــيْ

Akan dikabulkan do’a seseorang di antara kalian selama ia tidak tergesa-gesa, dengan mengatakan ‘aku telah berdo’a tapi tidak (atau belum juga) dikabulkan’” [Shahih Bukhari no. 6340]

Sedangkan di dalam Shahih Muslim (no. 2735) disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda (yang artinya):

Senantiasa akan dikabulkan do’a seorang hamba selama ia tidak berdo’a dengan do’a yang mengandung dosa atau pemutusan silaturrahim, dan juga selama ia tidak tergesa-gesa. Ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah r, apa yang dimaksud tergesa-gesa? Beliau menjawab: Jika seseorang berkata; ‘Aku telah berdo’a dan berdo’a, namun aku belum melihat do’a-ku dikabulkan, maka ia pun berputus asa lantas meninggalkan do’a”

Mencari Waktu Ijabah

Di antara waktu-waktu terkabulnya do’a berdasarkan dalil yang shahih adalah; sepertiga malam yang akhir (kira-kira tengah malam sampai menjelang shubuh), waktu antara adzan dan iqomah, pada saat turun hujan, saat sujud dalam shalat, dan tentu saja pada saat berpuasa di bulan Ramadhan, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَالْإمَامُ الْعَادِلُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga orang yang do’anya tidak akan ditolak; seseorang yang berpuasa hingga ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang terzhalimi.” [Hadits Hasan riwayat at-Tirmidzi, lih. Al-Kalimut Thoyyib no. 163]

Berdo’a Dengan Asma’ullaahil A’zhom

Do’a akan semakin kuat pengaruhnya jika dihiasi dengan Asma’ullaahil A’zhom, yaitu nama-nama Allah yang isitimewa nan agung. Salah satunya adalah dengan membaca kalimat berikut ini sebelum mengutarakan permintaan kepada Allah:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ أَنِّى أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِى لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda ketika mendengar seorang laki-laki yang berdo’a menggunakan kalimat di atas:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ سَأَلَ اللَّهَ بِاسْمِهِ الأَعْظَمِ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى

Demi Allah yang jiwaku dalam gengaman-Nya, sungguh ia telah meminta kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, yang mana jika Dia diminta dengan nama tersebut, niscaya akan di-ijabah, dan jika Dia dimohon dengan nama tersebut niscaya Dia akan memberi.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3857, al-Albani]

Catatan: Ada banyak lafaz-lafaz Asma’ullaahil A’zhom selain lafaz di atas, untuk itu silahkan merujuk kitab ad-Daa’ wad Dawaa’ (hal. 28-32, Cet. V, Daar Ibn Katsir, 1421 H) karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat: 751 H)

***

Disarikan dan diramu oleh Redaksi al-Hujjah dari sumber bacaan:

ad-Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.

Tafsirul Qur-aanil ‘Azhiim, Ibnu Katsir.

al-Kalimut Thoyyib, Ibnu Taimiyah.

Muroja’ah:

Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.