BERSUCI, SEPARUH KEIMANAN
Para ulama Salafush Shalih menjelaskan dua makna yang terkandung dalam kata ath-Thuhuur (Bersuci) dalam hadits ini.
Pertama; ath-Thuhuur bermakna mensucikan hati dari na’jis-na’jis maknawi, yaitu kotoran-kotoran hati dan jiwa seperti; syirik, kekufuran, kemunafikan dan aqidah-aqidah yang menyimpang dari al-haq tentang Allah baik tentang Dzat, Nama-Nama-Nya dan Sifat-Sifat-Nya, serta beragam kotoran hati lainnya. Juga termasuk dalam pengertian ini, membersihkan diri dari kotoran maksiat yang diperbuat oleh anggota badan.
Berangkat dari pengertian pertama inilah, Allah menyebut orang-orang musyrik sebagai orang-orang yang na’jis dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا …الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu na’jis…” [QS. at-Taubah: 28]
Disebut Syathrul Imaan (separuh keimanan) karena iman yang sempurna itu mencakup dua hal; Fi’lun (berbuat) dan Tarkun (meninggalkan/tidak berbuat). Nah, ath-Thuhuur menurut pengertian pertama ini termasuk dalam kategori Tarkun, yaitu meninggalkan na’jis dan kotoran maksiat baik itu maksiat hati ataupun anggota badan. Sehingga tinggal separuhnya lagi yaitu Fi’lun, melakukan amalan yang membersihkan dan menghiasi diri seseorang di hadapan Allah. Barulah iman dikatakan sempurna.
Kedua; ath-Thuhuur dalam hadits ini bermakna bersuci dengan air atau pengganti air (yang disyaria’tkan). Sehingga yang masuk dalam pengertian ini adalah; wudhu/tayammum, mensucikan badan dan pakaian dari hadats dan na’jis, mandi suci (karena junub), mandi suci wanita sehabis haidh atau nifas.
Adapun yang ditekankan oleh para ulama -menurut pengertian kedua ini- adalah ath-Thahaarah (bersuci) untuk sholat. Karena Allah menyebut sholat sebagai Iman dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“…Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman (sholat) kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada manusia.” [QS. al-Baqarah: 143]
Ayat tersebut turun berkenaan dengan perintah mengalihkan kiblat dari Baitul Maqdis (di Palestina) ke Ka’bah (di Makkah). Sebagian para Sahabat menganggap sholat yang mereka kerjakan dulu ketika berkiblat ke arah Baitul Maqdis menjadi sia-sia. Maka Allah menjawab dengan ayat ini.
Bersuci untuk sholat disebut Syathrul Iman (separuh iman), karena hal tersebut merupakan syarat sah-nya sholat. Jika seseorang telah bersuci untuk sholat, maka ia telah mengerjakan separuh nilai keimanan, tinggal menyempurnakan separuhnya lagi dengan mengerjakan sholat itu sendiri.
Demikianlah intisari penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullaah dalam Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah (hal.262-263, Cet. Daarul Mustaqbal)
DZIKIR BERPAHALA SEJAGAT
Dalam hadits Abu Malik al-Asy’ary di atas juga terkandung keistimewaan kalimat Tahmiid “Alhamdulillaah”. Ibnu Daqiiqil I’id berkata: “Alhamdulillaah memenuhi miizan (timbangan) maksudnya; besarnya pahala orang-orang yang ber-tahmid sampai-sampai memenuhi timbangan amal kebaikan kelak di akhirat.” [Syarh al-Arba’iin hal. 258]
Imam Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan dalam Syarh al-Arba’iin (hal. 260): “ Alhdamdulillaah adalah; mensifatkan Allah dengan segala sifat terpuji dan sempurna baik itu pada Dzat-Nya ataupun pada Sifat dan Perbuatan-Nya.” (Ketika ber-tahmid mengucapkan “Alhamdulillaah”, seseorang harus meyakini makna ini), maka pahala bagi yang mengucapkannya akan memenuhi timbangan amal.
Sedangkan kalimat “Subhaanalaahi wal Hamdulillaah” memiliki keutamaan yang memenuhi apa yang berada di antara langit dan bumi. Kalimat ini menggabungkan antara Tashbiih (penyucian) dan Tahmiid. Kalimat Tashbiih mengandung makna Tanziih, yaitu mensucikan Allah dari segala sifat kurang dan tidak sempurna.
Mengenai keagungan makna yang terkandung dalam kalimat Tashbiih dan Tahmiid ini, Rasulullah bersabda (yang artinya):
“Dua kalimat yang dicintai ar-Rahmaan, dua kalimat yang ringan di lisan namun berat di timbangan (yaitu); Subhaanallaahi wa Bihamdihi, Subhaanallaahil ‘Azhiim.” [Muttafaq ‘Alaihi. Bukhari: 6406, 6682, 7563. Muslim: 2694]
Para ulama juga menegaskan bahwa mizan (timbangan) dalam hadits Abu Malik al-Asy’ary ini adalah hakiki, bukan kiasan. Memiliki dua daun timbangan yang akan digunakan untuk menimbang amal manusia kelak di akhirat.
SHOLAT ITU CAHAYA
Rasulullah menyebut sholat sebagai Nuur (cahaya), maksudnya adalah cahaya di hati seorang mukmin. Apabila hati bercahaya, maka wajah pun akan bercahaya. Sedangkan di akhirat kelak di saat yang gelap, sholat seorang mukmin benar-benar menjadi cahaya hakiki yang memancar di sekelilingnya memberikan penerangan, sebagaimana Allah berfirman (artinya):
“(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka…” [QS. al-Hadiid: 12]
Ibnu Daqiiqil I’id menerangkan bahwa sholat disebut cahaya karena ia mampu mencegah seseorang dari kemaksiatan, dari kefasikan dan kemungkaran, dan juga memberikan petunjuk kepada jalan kebenaran, sebagaimana cahaya yang sesungguhnya digunakan sebagai pemberi petunjuk dan penerangan.
Termasuk dalam cakupan makna Nuur (cahaya) di sini adalah ilmu agama. Karena Allah juga menyebut Rasulullah dan al-Qur-an sebagai sumber ilmu agama dengan kata “Nuur” dalam QS al-Maa-idah: 15.
Sehingga tidak heran jika Imam Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa sholat bisa membuka pintu ilmu dan fiqh bagi seseorang (tentunya jika dikerjakan dengan ikhlas sesuai tuntunan sunnah yang shahih).
SEDEKAH ADALAH BUKTI
“As-Shodaqotu Burhaanun” maksudnya; sedekah adalah bukti kejujuran iman seseorang. Sedekah membedakan iman seorang mukmin sejati dengan iman yang dicemari oleh sifat munafiq. Karena orang-orang munafiq sangat pelit dalam bersedekah.
al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sedekah adalah bukti kejujuran cinta ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, karena tabiat jiwa sangat mencintai harta, dan tidaklah seseorang rela mengorbankan sesuatu yang ia cintai melainkan untuk meraih sesuatu yang lebih ia cintai (dari harta tersebut, yaitu Allah). Maka ini burhan (bukti) akan kejujuran imannya serta kekuatan yakinnya kepada Allah.” [Syarh al-Arba’iin hal. 260]
SABAR, SINAR YANG TERIK
Sabar disifatkan oleh Rasulullah sebagai dhiya’. Dhiya’ adalah nuur (cahaya) yang sangat terang benderang dan panas. Dalam al-Qur-an, Allah mensifatkan cahaya bulan dengan kata nuur sementara cahaya matahari disifatkan dengan kata dhiya’, karena selain cahayanya sangat terang, cahaya matahari juga terik dan panas menyengat:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
“Dialah (Allah) yang menjadikan matahari (dhiya’) bersinar dan bulan (nuur) bercahaya…” [QS. Yunus: 5]
Demikianlah sabar, sangat panas dan menyusahkan bagi jiwa, namun kebesaran cahaya bagi orang-orang yang sabar sungguh tiada tara layaknya sinar matahari.
Sabar menurut definisi para ulama adalah: menahan hati dan anggota badan untuk tetap dalam ketaatan, menahannya dari maksiat, dan menahannya untuk selalu ridho atau bersyukur atas ketentuan taqdir Allah, baik taqdir itu pahit ataupun manis.
Kelak di akhirat, manusia akan menemui saat-saat yang gelap dan sulit. Manusia sangat-sangat membutuhkan cahaya yang bersumber dari sholatnya, sedekahnya dan kesabarannya, melebihi kebutuhannya terhadap apapun juga.
Renungkanlah bagaimana orang-orang munafik dalam al-Qur-an memelas secercah cahaya milik orang-orang mukmin di akhirat. Allah berfirman (yang artinya):
“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu, di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa.” [QS. al-Hadiid: 13]
AL-QUR-AN, HUJJAH UNTUKMU ATAU ATASMU
Al-Qur-an akan menjadi pembela kelak di akhirat, bagi orang-orang yang membacanya, menjalankan hukum-hukumnya, menghalalkan yang dihalalkannya dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Namun jika sebaliknya, al-Qur-an itu justru akan menjadi lawan yang akan memberatkan dan menghinakan manusia di dunia maupun di akhirat.
“Kelak akan didatangkan al-Qur-an pada hari kiamat. Yang lebih dulu didatangkan adalah Surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Keduanya datang bak dua awan. Keduanya akan ber-hujjah (berargumentasi) membela para pembaca dan pengamalnya.” [Lih. Shahih Muslim: 804, 805]
MENJUAL DIRI UNTUK ALLAH
ATAU SETAN?
Kalimat terakhir hadits ini yaitu “Kullun Naasi Yaghdu…dst”, mengisyaratkan bahwa di antara manusia ada yang bekerja untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan atas apa yang diinginkannya. Namun untuk itu, ada yang menjual dirinya kepada setan dan hawa nafsu dengan bermaksiat kepada Allah. Alih-alih merdeka, justru ia menjadi budak setan dan hawa nafsunya. Sehingga pada akhirnya ia akan hancur binasa.
Padahal dengan mentaati Allah, ia akan meraih kebebasan yang hakiki. Ibnul Qayyim berkata dalam (kumpulan sya’ir) Nuuniyyah-nya:
هَرَبُوا مِنَ الرِّقِّ الَّذِي خُلِقُوا لَهُ وَبَلَوْا بِرِقِّ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ
“Mereka lari dari penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan.”
“Dan mereka berpaling menuju penghambaan kepada nafsu dan setan.”
(Wallaahua’lam)
Sumber Bacaan: Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyah (Majmu’atul ‘Ulama) Cet. Daarul Mustaqbal
Komentar Terbaru