Berbicara tentang Ahmadiyyah, kesesatan dan kejahatan aliran ini terhadap Islam sudah jelas. Tentu saja sebagai umat Islam yang berpegang teguh pada al-Qur-an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Sahabat (Salaf), kita harus mendukung pelarangan Ahmadiyyah di Indonesia (tidak terkecuali aliran-aliran sesat lainnya termasuk paham liberalisme), bahkan di seluruh kolong langit ini bila memungkinkan. Ini merupakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang mutlak untuk ditegakkan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita masing-masing.
Namun memang; amar ma’ruf nahi munkar oleh perorangan tidak bisa dipaksakan dengan kekerasan fisik. Jika pada sikon tertentu sikap keras dan represif dibenarkan, maka yang berwenang melakukannya adalah ulil amri (penguasa yang sah), bukan sekelompok orang tertentu. Amar ma’ruf nahi munkar juga memiliki ketentuan dan adab-adab syar’i, sehingga setiap orang tidak bisa bebas “berkreasi” menegakkan amar ma’ruf nahi munkar menurut prasangka dan seleranya masing-masing. Inilah keindahan konsep amar ma’ruf nahi munkar yang berusaha dipelintir atau ditutup-tutupi oleh kaum sekuler-liberalis untuk memojokkan Islam.
Penting untuk digarisbawahi, bahwa kita dengan tegas mengingkari tindakan main hakim sendiri atas nama nahi munkar yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Namun di satu sisi kita juga dengan tegas mendukung pemerintah –dengan memohon pertolongan Allah-, agar Ahmadiyyah dan aliran sesat lainnnya segera dilarang dan dibubarkan, demi terjaganya persatuan Islam dan kaum muslimin di negeri ini.
Urgensi Amar Ma’ruf Nahi Munkar Bagi Kemaslahatan Negeri
Sebelum berbicara tentang ketentuan dan adab-adab amar ma’ruf nahi munkar, terlebih dahulu kami paparkan kedudukan amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam. Hal ini penting, agar opini dan persepsi umat tidak tersesat; sehingga muncul anggapan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan oleh “sekelompok oknum beratribut Islam”, adalah cerminan sesungguhnya dari konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam.
Demi Allah, tidak demikian! Bahkan amar ma’ruf nahi munkar adalah ajaran yang mulia, beradab dan memiliki tujuan yang agung. mengajak pada persatuan umat di atas al-Haq. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (104). Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (105).” [QS. Ali ‘Imran: 104-105]
Mengomentari ayat yang mulia ini, Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullaah berkata: “Disebutkannya larangan bercerai-berai dan berselisih (pada ayat ke-105) setelah menyebutkan perintah amar ma’ruf nahi munkar (pada ayat ke-104), menunjukkan bahwa meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah umat.” [Syarh Riyaadhus Shaalihiin: 1/512]
Dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kita akan meraih kembali kejayaan kita sebagai umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman (artinya):
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (yang memiliki sifat-sifat); menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” [QS. Ali ‘Imran: 110]
Dengan mewujudkan amar ma’ruf nahi munkar, berarti kita telah membentengi diri kita dari laknat Allah yang dulu pernah -bahkan sampai saat ini- ditimpakan bagi orang-orang Yahudi. Sebagaimana Allah berfirman:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [QS. Al-Maa-idah: 78-79]
Dengan penegakan amar ma’ruf nahi munkar, keamanan negeri akan tercipta, Allah akan menurunkan keberkahan-Nya, setiap jiwa akan tenang dan damai, karena bersatu di atas keimanan (tauhid dan amal shalih) berkat amar ma’ruf dan bersepakat meninggalkan kezhaliman (syirik dan kemaksiatan) berkat nahi munkar. Allah berfirman tentang hal ini:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. Al-An’aam: 82]
Dalam ayat lain Allah berfirman:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” [QS. Al-A’raaf: 165]
Rasulullaah r juga pernah bersabda ketika menjelaskan betapa pentingnya peranan amar ma’ruf nahi munkar bagi terciptanya keamanan dan kesalamatan umat secara menyeluruh:
“Perumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan Allah dan orang-orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berlayar dengan perahu kapal, dimana sebagian di antara mereka berada di bagian atas kapal dan sebagian lagi berada di bawah. Mereka yang berada di bawah jika membutuhkan air (di atas kapal), mereka harus melintasi orang-orang di atasnya. Maka mereka (yang dibawah) berkata, ‘Andaikata kita lubangi dasar kapal ini (untuk mendapatkan air), tentu kita tidak akan merepotkan orang-orang di atas’. Jika mereka dibiarkan melakukannya, niscaya semua penghuni kapal akan binasa (tenggelam). Namun jika mereka dicegah dengan tangan, niscaya mereka akan selamat…selamat semuanya.” [Shahih Bukhari: 2493, lih. Syarh Riyaadhus Shaalihiin: 1/522]
Batasan-Batasan Syar’i dan Adab-Adab Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hasil positif dari penegakan amar ma’ruf nahi munkar –sebagaimana telah dipaparkan di atas- tidak akan terwujud jika dilakukan dengan serampangan tanpa mengindahkan rambu-rambu syari’at.
Tidak jarang seseorang atau sekelompok orang yang terbakar semangat ke-Islamannya melakukan amar ma’ruf nahi munkar menurut prasangka mereka, namun hasil yang diperoleh justru semakin jauhnya umat dari yang ma’ruf dan beralihnya umat atau opini umat menuju kemunkaran yang lebih besar. Ingat! Tujuan penegakan amar ma’ruf nahi munkar (menurut QS. Ali Imran: 104-105) adalah terciptanya keamanan dan kemaslahatan menyeluruh bagi persatuan umat Islam di atas al-Haq. Maka segala tindakan atau metode amar ma’ruf nahi munkar yang justru diyakini akan mendatangkan mudarat lebih besar, menimbulkan kekisruhan di tengah umat serta menceraiberaikan umat Islam dari al-Haq, sudah barang tentu itu bukanlah amar ma’ruf nahi munkar menurut Islam.
Berikut ini adalah ketentuan dan adab-adab amar ma’ruf nahi munkar yang dituntunkan oleh al-Qur-an dan Rasulullah r melalui Sunnahnya yang shahih.
Pertama: Keikhlasan Niat
Amar ma’ruf nahi munkar yang sukses, hanya lahir dari hati-hati yang tulus dari para penegaknya. Karena ketulusan niat adalah inti agama dan poros dakwah para Rasul.
Seseorang harus benar-benar bersih dari tendensi selain mengharap wajah Allah dan menginginkan kemaslahatan bagi sesama muslim ketika melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu bukti keikhlasan dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan mendo’akan kebaikan bagi obyek dakwah. Bukan justru menakut-nakuti mereka dengan kepalan tinju dan pukulan.
Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh (kini menjabat Menteri Agama Saudi Arabia) menjelaskan: “Kami akan membuat permisalan untuk menjelaskan dampak ikhlas dalam amal, dampak ikhlas dalam dakwah, dampak ikhlas dalam amar ma’ruf nahi munkar yang di antaranya adalah berdoa untuk objek dakwahnya, berdoa ketika berdakwah amar ma’ruf nahi munkar supaya orang tersebut mau menerima dakwah kita. Apakah di sana ada sesuatu yang lebih besar dari syirik? (Namun) Nabi r (tetap sudi) berdo’a:
اللهم أعز الإسلام بأحد العمرين
“Ya Allah Kokohkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar.”
Yakni salah satu dari Abu Jahl dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Nabi r meminta kepada Allah untuk kedua orang tersebut, untuk dua orang musyrik tersebut (sebelum Umar bin Khaththab masuk Islam) agar Allah memberi hidayah kepada salah satu dari keduanya atau untuk memberi hidayah kepada mereka berdua, padahal kenyataan menunjukkan bahwa mereka menampakkan permusuhan, pengrusakan, menyusahkan sebagian mukminah di Mekkah.
Walaupun begitu, Nabi r tetap berdoa untuk mereka (sehingga karena doa tersebut Allah memberikan hidayah kepada Umar bin Khattab). Dampak ikhlas merupakan dampak dari kecintaanmu yang besar bagi objek dakwahmu supaya mendapat hidayah, karena hati itu di tangan Allah. Maka dengan cara ini engkau telah membuka pintu-pintu diterimanya hidayah. Maka bukalah pintu-pintu bagi manusia untuk dapat membuka hatinya (dengan kebenaran Islam). [Penjelasan ini di terjemahkan dari ceramah beliau. Lih. www.muslim.or.id]
Melalui penjelasan di atas, jelaslah bahwa kekerasan pada obyek dakwah, menyalahi nilai-nilai keikhlasan. Karena kekerasan suatu kelompok di luar kewenangannya -sekalipun mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar-, adalah kezhaliman yang justru membuat obyek dakwah lari dari yang ma’ruf. Dampaknya, kemunkaran yang lebih besar pun tidak menutup kemungkinan akan terjadi, seperti kebencian terhadap al-Haq dan para ulama penegak amar ma’ruf nahi munkar yang sesungguhnya.
….Bersambung (Insya Allah)
Sumber Bacaan: Syarh Riyaadhus Shaalihiin (Imam Ibnu ‘Utsaimin), Syarh Arba’iin (Syaikh Shalih Alu Syaikh), Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali), dll.
Komentar Terbaru