Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS. At-Tahrim: 6]
Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu ketika menafsirkan ayat tersebut berkata: “Ajarkanlah agama pada keluarga kalian, dan adab-adab Islam (dengan demikian kalian telah memelihara keluarga kalian dari api neraka)”. [lihat Tafsir Ibnu Katsir: 412-413]
Karena di sanalah (di sekolah-sekolah diniyyah bermanhaj Salaf) mereka akan minum dari telaga ilmu yang murni, yang bersumber dari madrasah nubuwwah Nabi kita yang mulia Muhammad beserta para Sahabatnya ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin. Inilah modal terbesar bagi mereka dalam meraih kejayaan di dunia dan akhirat, juga sebagai tameng yang membentengi mereka dari ganasnya badai syubhat (pemikiran sesat) dan syahwat.
Bisa dibayangkan kemuliaan yang akan diraih sang anak, demikian pula bagi orangtuanya kelak, jika sejak dini sang anak dididik di bawah bimbingan cahaya al-Qur-an dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman para Sahabat (Salaf). Tidak diragukan lagi mereka adalah cikal bakal Qurratu A’yun (penyejuk mata-penyenang hati) yang diidam-idamkan orangtua. Bukankah Allah mengajarkan kita untuk memintanya?
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (kami), dan Jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Furqaan: 74]
Amiirul Mukminiin Sulaiman bin Abdul Malik pernah berwasiat pada kedua putranya: “Wahai anakku, carilah ilmu (agama). Karena dengan ilmu, rakyat jelata bisa meraih kehormatan, dan para hamba sahaya bisa melampaui derajat para raja.”
Nasihat emas tersebut beliau utarakan di musim haji 97 H, di tengah perjalanan Sa’i antara Shafa dan Marwah. Beberapa saat setelah kedua anaknya yang masih muda belia, menyaksikan sang ayah, khalifah kaum muslimin saat itu, bersimpuh bersama kerumunan rakyat biasa mengelilingi laki-laki tua berkulit hitam, berhidung pesek, dan berambut keriting. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik meminta fatwa kepadanya tentang manasik haji dari awal sampai akhir. Laki-laki tua itu menjawabnya dengan dalil-dalil yang bersumber dari hadits Rasulullah. Kedua putra khalifah begitu heran melihat penghormatan ayahnya pada laki-laki tua tersebut. Keduanya terhentak ketika mendengar petugas khalifah menyeru di tengah lautan manusia: “Wahai kaum muslimin…! Tidak ada yang berhak berfatwa di tempat ini (Masjidil Haram) kecuali ‘Atha bin Abi Rabah…”
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik lantas berkata pada kedua putranya yang bertanya-tanya keheranan: “Wahai anakku, pria yang engkau lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama ‘Atha bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di Masjidil Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu dengan bagian yang banyak.
‘Atha bin Abi Rabah di masa kecil adalah seorang budak Habsyah milik seorang wanita penduduk Makkah. Hanya saja Allah memuliakannya semenjak ia pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu. Disamping waktu untuk beribadah kepada Allah dan mengabdi pada majikannya, ia wakafkan seluruh hidupnya untuk berkutat dengan ilmu. Ia datangi madrasah-madrasah dari sisa-sisa Sahabat Rasulullah yang masih hidup dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih. ‘Atha bin Abi Rabah mendulang mutiara ilmu dan hikmah dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, dan terutama Abdullah bin Abbas ridhwaanullaah ‘alaihim ajma’iin. [Lihat kisahnya dalam Shuwaru min Hayaatit Taabi’iin hal. 9-21]
Di zaman dahulu ada seseorang yang lehernya cacat, dan ia selalu menjadi bahan ejekan dan tertawaan. Kemudian ibunya berkata padanya: “Hendaklah engkau menuntut ilmu (agama), niscaya Allah akan mengangkat derjatmu.” Sejak itulah ia belajar ilmu syar’I hingga ia menjadi seorang ‘alim, sehingga ia diangkat menjadi Qadhi (hakim) di Makkah selama 20 tahun. Apabila ada orang yang berperkara duduk dihadapannya, maka gemetarlah tubuhnya hingga ia berdiri. [lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 220-221]
‘Atha bin Abi Rabah dan Qadhi berleher cacat tersebut di atas, adalah sebagian di antara sekian banyak ayat-ayat (baca: bukti) Allah tentang kemuliaan dan keutamaan mempelajari ilmu syar’i. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat: 751 H) rahimahullaah menyebutkan lebih dari seratus keutamaan ilmu syar’i. Berikut ini adalah sebagian di antaranya:
1. Allah Memakai Kesaksian Orang-Orang Berilmu, Bersanding dengan Kesaksian Para Malaikat
Hal ini disebutkan dalam firman-Nya:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Ali ‘Imran: 18]
Sisi pengambilan dalil tentang keistimewaan orang-orang berilmu pada ayat di atas adalah:
Pertama, Allah bersaksi dengan persaksian orang-orang ‘alim (berilmu agama). Bisa dibayangkan penghormatan Allah kepada orang ‘alim, sampai-sampai Allah menjadikannya saksi. Ini sudah lebih dari cukup, sebagai bukti betapa tingginya derajat oarng-orang ‘alim.
Kedua, Allah memakai orang-orang ‘alim untuk mempersaksikan suatu perkara yang teramat agung nan mulia. Yaitu kalimat tauhid Laailaaha ilallaah. Sebagaimana kita ketahui, Allah menciptakan jagad semesta beserta isinya ini, demi menegakkan kalimat tauhid tersebut.
Ketiga, Allah menggandengkan persaksian orang-orang ‘alim tersebut dengan persaksian para Malaikat, makhluk-makhluk mulia yang diciptakan dari cahaya.
2. Allah Mengangkat Derajat Orang-Orang yang Berilmu Tentang agama-Nya
Hal ini sebagaimana firman Allah:
“(Artinya) Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis (ilmu)”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. Al-Mujaadilah: 11]
Rasulullah juga bersabda: “(Artinya) Sesungguhnya Allah mengangkat dengan al-Qur-an beberapa kaum dan Allah pun merendahkan beberapa kaum dengannya.” [Shahih Muslim no. 817]
3. Kefahaman Dalam Masalah agama Termasuk Tanda-Tanda Kebaikan
Sebagaimana sabda Rasulullah :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِالدِّيْنَ
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Dia akan memberikan pemahaman tentang agama padanya.” [Bukhari no. 71, Muslim no. 1037]
4. Menuntut Ilmu dan Mengajarkannya Lebih Utama Daripada Ibadah Sunnah dan Wajib Kifayah
Sebagaimana sabda Rasulullah :
“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah, dan agama kalian yang paling baik adalah al-wara’ (ketakwaan).” [Hadits Hasan, at-Tirmidzi no. 2322]
‘Ali bin Abi Thalib (wafat: 40 H) radhiallaahu ‘anhu pernah berkata: “Orang yang berilmu (agama) lebih besar ganjaran pahalanya daripada orang yang berpuasa, shalat dan berjihad di jalan Allah.” [lihat al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu hal. 133]
5. Dengan Ilmu, Seseorang Akan Menguasai Dunia
Sebagaimana Allah telah menjadikan Thalut, seorang rakyat jelata Bani Israil, sebagai raja bagi kaumnya, karena ilmu yang dimilikinya. Allah berfirman tentang Thalut:
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 247]
Demikianlah sebagian kecil dari keutamaan menuntut ilmu syar’i. Tentunya penjelasan di atas sudah seharusnya bisa menggugah hati para orangtua untuk memasukkan putra-putrinya di lembaga-lembaga pendidikan agama, terutama yang mengajarkan manhaj dan akhlak Salaf. Karena kisah-kisah emas dan keutamaan ilmu yang kami sebutkan sebelumnya, tidak lain merupakan buah dari keberkahan ilmu Salafush Shalih yang mata rantainya bersambung sampai kepada para Sahabat dan Rasulullah r.
Berbeda dengan ilmu kalam yang diajarkan pada sebagian sekolah keagamaan yang tidak berbasis manhaj Salaf. Ilmu yang diadopsi dari filsafat Yunani ini, dijadikan alat untuk memahami ajaran Islam. Lambat laun, ilmu yang menuhankan akal ini merasuki dan meracuni generasi Islam. Kemudian buah pahit yang kita petik adalah kemunculan tokoh-tokoh yang dikenal sebagai “Pemikir Islam” dengan berbagai pendapat yang justru merusak tantanan pokok-pokok ajaran Islam. Tanpa disadari, dari merekalah lahir berbagai ajaran dan pemikiran sesat yang memusuhi Islam dari dalam.
Sebagai orangtua, kita harus ekstra selektif dalam memilih basis pendidikan agama bagi putra-putri kita. Karena masalah ini menyangkut masa depan mereka yang tidak hanya berhenti sebatas berakhirnya usia mereka, tapi berlanjut sampai ke akhirat. **
Sumber Bacaan:
(1) Shuwaru min Hayatit Tabi’in, Cet. XV, Daarul Adab al-Islami Th. 1418 H, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya. (2) Panduan Menuntut Ilmu, Cet. II, Pustaka at-Taqwa 1428 H, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Semoga sekolah-sekolah salaf dapat menjadi solusi bagi perbaikan ummat khususnya di negri tercinta ini, baarokallohu fiikum.