Aqidah dengan pengertian di atas merupakan pondasi agama. ika pondasi -aqidah- yang terbangun kokoh dan kuat, maka bangunan agama juga akan kokoh dan kuat. Namun jika pondasi yang berupa aqidah tersebut rusak, maka bangunan agama pun tidak bisa diharapkan akan menjadi bangunan yang kokoh dan kuat. Hanya dengan aqidah yang kokohlah kita bisa membentengi diri dari pemurtadan, baik berupa kristenisasi, pluralisasi, liberalisasi dan lain-lain.

Oleh karena itu para ulama di setiap zaman telah memberikan perhatian lebih dalam masalah ini. Telah banyak kitab-kitab yang ditulis oleh mereka menjelaskan aqidah yang benar sekaligus membela dan membersihkannya dari aqidah yang batil. Contohnya: Kitabus Sunnah karya Imam Amad, kitab Syarhus Sunnah karya Imam al-Muzani as-Syafi’i, Kitabus Sunnah karya Imam al-Khallal, kitab Maqalaatul Islamiyyin karya Abul Hasan al-Asy’ari, kitab al-I’tiqad Wal Hidayah karya Imam al-Baihaqi as-Syafi’i dan lain-lain.

Aqidah yang kuat adalah aqidah yang bersumber dari sumber yang benar, sehingga terbangunlah prinsip-prinsip dasar yang kokoh, tidak mudah goyah oleh syubhat (kerancuan pemikiran) yang dihembuskan musuh-musuh Islam dan para antek-anteknya.

Adapun sumber dan prinsip dasar aqidah yang disepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik yang selanjutnya kita sebut sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah sebagai berikut:

Sumber pengambilan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah al-Qur-an dan as-Sunnah. Karena aqidah adalah sebuah keyakinan yang pasti tidak bercampur dengan keraguan sedikitpun dan berhubungan erat dengan perkara yang ghaib, sehingga satu-satunya sumber dan jalan untuk mengetahui aqidah tersebut adalah dari al-Qur-an dan as-Sunnah. Allah U berfirman (artinya): “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’.” (QS. An-Naml: 65).

Allah telah menurunkan al-Qur-an dan mengutus para Rasul untuk menjelaskan semua hal yang wajib diyakini oleh manusia, dan penjelasan tersebut tentu saja bersumber dari sunnah beliau. Allah U berfirman menerangkan kedudukan sunnah Rasul-Nya:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur-an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

Rasulullah r juga bersabda:

أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah sesungguhnya aku telah diberikan al-Qur-an dan yang semisal dengannya (as-Sunnah).” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Hakim dan beliau menshahihkannya serta diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dengan sanad yang shahih sebagaimana yang disebutkan oleh al-Albani dalam kitab al-Hadits Hujjatun Binafsihi).

Rasulullah r juga bersabda:

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan Hakim yang dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Kitab Misykatul Mashabih).

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menerima setiap apa yang datang dari al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah r serta menolak apa yang ditolak oleh al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah r. Allah U berfirman (artinya):

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah (hal. 110) berkata: “Tidak ada suatu permasalahanpun yang dihadapi oleh seseorang yang mengikuti agama Allah, melainkan jawabannya ada dalam Kitabullah, sebagai jalan dan petunjuk.” Beliau juga berkata (hal. 155): “Allah telah mewajibkan manusia mengikuti Wahyu-Nya dan sunnah-sunnah Rasul-Nya.”

Inilah yang diyakini oleh para sahabat dan para imam kaum muslimin. Mereka semua selalu mengedepankan firman Allah dan Sabda Rasul-Nya, sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Hujurat: 1).

‘Abdullah bin ‘Umar pernah berkata pada seseorang yang bertanya kepadanya dan membantah dengan pendapat ‘Umar bin Khaththab (ayah beliau): “Apakah perintah Rasulullah r lebih berhak diikuti atau perintah ayah saya?” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan beliau).

Ibnu ‘Abbas juga pernah berkata kepada orang yang membenturkan sabda Rasulullah r dengan ucapan Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu’anhuma: “Hampir saja kalian tertimpa batu dari langit, aku membawakan sabda Rasulullah r kalian (malah) membantahnya (dengan ucapan): Abu Bakr berkata dan ‘Umar berkata.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dalam Mushannaf beliau).

Beginilah sikap para sahabat secara umum, mereka selalu mengedepankan nash al-Qur-an dan Sunnah (hadits) Rasulullah r walaupun bertentangan dengan orang yang paling mereka hormati sekalipun. Sikap inilah yang dicontohkan oleh para Imam -madzhab-

Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata: “Apabila saya mengutarakan satu pendapat yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r, maka tinggalkanlah perkataan saya.” (Diriwayatkan oleh al-Filani dalam kitab Iiqazh Himam).

Imam Malik rahimahullah berkata: “Saya ini hanya seorang manusia, bisa salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Qur-an as-Sunnah ambillah, dan setiap pendapatku yang tidak sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah tinggalkanlah. (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Jaami’ul ‘ilm wa fadhlihi).

Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata: “Kaum muslimin telah sepakat (ijma’) bahwa barangsiapa yang mengetahui dengan jelas suatu Sunnah dari Rasulullah r, maka tidak halal baginya meninggalkan Sunnah tersebut karena perkataan (pendapat) orang.” (Diriwayatkan al-Filani dalam kitab Iiqazh Himam).

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah r maka ia berada di ujung jurang kehancuran.” (Diriwayatkan oeh Ibnul Jauzi dalam kitab Manaqibul Imam Ahmad).

Dasar dalam memahami al-Qur-an dan as-Sunnah (hadits) adalah nash-nash (ayat maupun hadits) yang saling menjelaskan antara satu dan lainnya serta pemahaman para salaf yaitu sahabat Rasulullah r dan para imam yang mengikuti mereka dengan baik.

Sudah jelas bahwasanya hanya Allah dan Rasul-Nya lah yang paling tahu maksud dan makna ayat maupun hadits oleh karena itu sebaik-baik penjelasan adalah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya, dari ayat dan hadits yang saling menjelaskan.

Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku beriman pada Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya serta aku beriman pada Rasulullah r dan apa yang datang darinya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah r (Majmu’ fatawa).

Kemudian setelah Allah dan Rasul-Nya, tentunya yang paling tahu tentang makna dan maksud hadits adalah para sahabat yang langsung berada di bawah bimbingan Rasulullah r. Mereka para sahabat adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah dalam firman-Nya (artinya):

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100).

Allah juga menjelaslkan ciri orang yang mendapat hidayah adalah orang-orang yang mengimani apa yang para sahabat imani, Allah berfirman:

فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137).

Rasulullah r dengan jelas menyifatkan orang yang selamat adalah orang yang mengikuti thariqah (jalan) atau manhaj (metode) para sahabat dalam memahami ayat dan hadits Rasulullah r

Rasulullah r bersabda (artinya): “Dan ummatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh millah, semuanya masuk dalam neraka, kecuali satu millah saja. Para sahabat bertanya: siapakah yang diatas millah tersebut wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: mereka yang berada di atas aku dan para sahabatkuberada.” (Hadits Shahih riwayat Imam at-Tirmidzi).

Mungkin akan ada yang bertanya, para sahabat juga banyak yang berselisih pendapat. Pendapat atau pemahaman siapakah diantara mereka yang akan kita pilih?

Para sahabat tidaklah berselisih dalam masalah ushul (pokok) yang prinsip. Perselisihan mereka terjadi pada masalah furu’ (cabang) dan masalah sikap yang bersifat ‘amaliyyah. Hadits Rasulullah r di atas juga tidaklah menyatakan bahwa kita dipersilahkan memilih sahabat mana saja yang boleh kita ikuti, namun menegaskan sebuah metode yang bersumber dari Rasulullah r yang diajarkan pada para sahabat kemudian mereka sepakat berjalan di atasnya. Adapun perselisihan dan kesalahan yang terjadi pada sebagian mereka yang bersifat furu’iyyah (cabang) dan ‘amaliyyah terjadi karena kesalahan ijtihad. Jadi yang kita ikuti adalah metode (manhaj) yang disepakati tersebut.

Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan ayat atau hadits yang shahih. Jika ada yang menyangka adanya pertentangan, maka wajib mengedepankan ayat dan hadits Rasulullah r.

Firman Allah dan hadits Rasulullah r adalah nash yang mengandung syariat yang sempurna, cocok diterapkan di setap zaman dan tempat sedang akal manusia hanyalah makhluk yang penuh kekurangan dan mempunyai jangkaun terbatas. Sangat tidak adil sesuatu yang penuh kekurangan dan mempunyai jangkauan tebatas lebih didahulukan dari pada firman Allah yang mulia dan hadits Rasulullah r yang suci. Padahal Allah telah berifrman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Hujurat: 1).

Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata: “Sebagaimana penglihatan mata terbatas begitu juga jangkauan akal.” (Kitab Aadabusy Syafi’i).

Imam Ibnu ‘Abdil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata: “Syariat tidak datang membawa sesuatu yang danggap mustahil oleh akal, tetapi ia kadang membawa sesuatu yang membingungkan akal.” (Kitab Syarhul ‘aqidah at-Thahawiyyah).

Bisa jadi menurut seseorang suatu ayat atau hadits tertentu bertentangan dengan akalnya, namun menurut orang lain yang dikaruniai ketajaman berfikir lebih, tidak merasakan adanya pertentangan tersebut. Ketajaman akal fikiran manusia tidaklah sama, sehingga tidak semua orang dapat menalari sesuatu dengan baik.

Kesimpulannya, orang yang selalu mengedepankan akal dari pada nash al-Qur-an dan hadits adalah orang yang sombong, takabbur dengan dirinya sendiri, menganggap akalnya mampu menalari segala sesuatu dan tidak mau mengakui kelemahan diri dan akalnya. Wallahu ta’ala a’lam.