Mengagetkan apa yang diungkapkan oleh Ketua MUI NTB, Saiful Islam, beberapa waktu yang lalu. Harian Lombok Post (Selasa, 15 Januari 2008) melansirnya dengan judul besar “MUI: Ajaran Syiah Tidak Sesat”. Tentunya judul besar tersebut bukan tanpa sebab. Semua berawal dari keresahan dan protes warga muslim Ampenan terhadap ritual pengikut Syiah mengenang peristiwa wafatnya cucu Nabi Muhammad, Husein radhiallahu’anhu. Nah, rupa-rupanya ketidaksetujuan akan sikap warga Ampenan inilah yang mendorong Ketua MUI NTB melontarkan statement, “Ajaran Syiah tidak sesat. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa ajaran Syiah itu sesat.”

Beliau (Ketua MUI NTB) juga lebih lanjut menjelaskan, bahwa selama ini MUI tidak pernah menyatakan bahwa Syiah itu sesat. Memang, ungkap beliau, ada beberapa perbedaan antara ajaran Ahlussunnah (baca: Islam) dengan Syiah. Namun, Aqidah, Rukun Islam, Rukun Iman, dan yang lainnya sama.

Ketua MUI NTB telah keliru dalam masalah ini, dan sudah seharusnya beliau mencabut ucapan tersebut. Pasalnya, statement tersebut selain bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’an, al-Hadits, realita sejarah, serta konsensus para ulama dari dulu sampai sekarang, juga bakal memunculkan kebingungan dan kekisruhan yang lebih besar di tengah-tengah masyarakat Islam khususnya di NTB yang mayoritas Sunni (non-Syiah). Dikhawatirkan hal ini akan memicu timbulnya konflik beragama yang semakin memanas.

Aqidah Islam vs Aqidah Syiah

Jika ditinjau dari kacamata syari’at, kekeliruan Ketua MUI NTB dalam masalah ini tampak jelas.

Dengan ungkapan seperti di atas, akan timbul opini menyesatkan bahwa Rukun Iman Syiah sama dengan Rukun Iman Islam. Padahal realitanya, Syiah –terutama sekte Rafidhah Imamiah ekstrim yang sekarang banyak berkembang di Ampenan- mengingkari Rukun Iman yang ke-enam (Iman kepada takdir Allah), dengan menetapkan sifat Bada’ bagi Allah. Istilah Bada’ bagi orang Syiah adalah keyakinan bahwa Allah tidak mengetahui -alias bodoh- akan hakikat sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi. Konsekuensi keyakinan ini adalah, Allah tidak bisa menghendaki sesuatu, sekaligus tidak mampu mewujudkan sesuatu tersebut di masa depan. Ini jelas bathil, bertentangan dengan sifat dan nama Allah al-‘Aliim (Yang Mahamengetahui) al-Qoodir (Yang Mahakuasa).

Sehingga tidak heran jika pengikut Syiah yang kebablasan ekstrimnya ada yang meyakini bahwa wahyu dan kenabian seharusnya turun kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Nabi Muhammad. Konon, Malaikat Jibril salah alamat dalam menyampaikan wahyu. Apa Allah tidak mengetahui sebelum kesalahan tersebut terjadi? Lalu di mana Kekuasaan dan Kehendak Allah dalam menetapkan takdir –jika memang wahyu seharusnya untuk Ali-?

Sementara kita, kaum muslimin, meyakini bahwa wahyu telah ditaqdirkan turun untuk Nabi Muhammad jauh sebelum langit dan bumi tercipta. Dan tak ada yang berubah dari takdir ketetapan Allah sedikitpun.

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“(Artinya) Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab: 38]

Aqidah Bada’ ini dicetuskan oleh seorang tokoh Syiah bernama Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini dalam bukunya Ushul al-Kaafi. Sebuah buku yang dinobatkan sebagai buku paling shahih serta rujukan utama bagi penganut Syiah. Al-Kulaini berkata: “Allah tidak dapat diibadahi dengan sesuatu pun setingkat Bada’.” [Ushul al-Kaafi, kitab Tauhid bab Bada’, 1/146]

Kemudian jika dipikir-pikir, bukankah kisah “ wahyu salah alamat” ini juga mengandung pengingkaran terhadap salah satu substansi Rukun Islam yang pertama, Muhammadur Rasulullah?

Aqidah Syiah Rafidhah tentang “12 Imam ma’shum”, juga semakin memperjelas bukti bahwa Rukun Islam kita tidak sama dengan Rukun Islam versi Syiah. Syiah ekstrim menganggap ucapan para Imam mereka setara dengan sabda Nabi, bahkan firman Allah. Al-Mazindarani, tokoh Syiah penulis kitab Syarh Jami’ al-Kaafi (Penjelasan Kitab Ushul al-Kaafi), mengatakan (dalam kitabnya tersebut, 2/272): “hadits dari setiap Imam yang nampak merupakan firman Allah, tidak berselisih antara ucapan mereka, sama halnya dengan firman Allah, tidak ada perselisihan di dalamnya.” Lihatlah bagaimana Syiah menyetarakan ucapan Imam-Imam mereka dengan wahyu. Jika direnungkan lebih dalam, aqidah semacam ini tak jauh beda dengan anggapan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Namun ternyata, perkaranya tidak berhenti sampai disitu. Suatu hal yang lebih mengerikan lagi terlihat jelas dari hadits-hadits palsu racikan al-Kulaini, yang intinya menganggap Imamah Syiah lebih tinggi daripada Nubuwwah (kenabian). [Ushul al-Kaafi: 1/175]

Padahal bagi kita kaum muslimin sangat jelas, syahadat Muhammadur Rasulullah mengharuskan kita mengingkari ada manusia yang derajat dan maqam-nya setara dengan Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal wahyu dan kenabian, apalagi sampai ada yang melebihi beliau. Dengan bersyahadat Muhammadur Rasulullah, berarti kita wajib meyakini bahwa wahyu telah terputus selama-lamanya seiring wafatnya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu sendiri -sebagai tokoh sentral pengkultusan Syiah- pernah berucap: “Allah mengutusnya (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) di waktu tidak ada Rasul…mengikuti para Rasul sebelumnya, dan dengannya Allah menutup wahyu.” [Nahjul Balaghah: 191]

Syiah juga menyimpang dalam keyakinannya terhadap al-Qur’an (Rukun Iman ke-tiga). Penganut ekstrim Syiah meyakini bahwa al-Qur’an (Mushaf Utsmani) yang ada di tangan kaum muslimin saat ini, tidak otentik, telah banyak mengalami penghapusan serta pengurangan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka mengklaim bahwa al-Qur’an yang asli (versi Syiah) tebalnya 3 kali lipat al-Qur’an kaum muslimin, yang mereka beri nama Mushaf Fathimah. [Ushulul Kaafi: 1/239-240]

Padahal kita ummat Islam meyakini janji Allah yang akan menjaga setiap huruf al-Qur’an dari perubahan. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“(Artinya) Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS. Al-Hijr: 9]

Syiah & Potensi Masalah Sosial Keagamaan

Untuk kaum muslimin di Indonesia khususnya NTB yang mayoritas Sunni, keyakinan-keyakinan Syiah terhadap sebagian besar sahabat Nabi, bisa berpotensi memunculkan konflik. Mereka (ekstrim Syiah) meyakini kafirnya semua Sahabat Rasulullah sepeninggal beliau, kecuali hanya beberapa orang saja. Pengkafiran mereka terhadap Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khaththab –yang mereka juluki sebagai “Dua Berhala Quraisy”- adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi. Demikian pula Sahabat Abu Hurairah, dan Sahabat-Sahabat lain yang banyak meriwayatkan Hadits langsung dari Rasulullah. Mereka semua tidak luput dari celaan dan laknat para ekstrimis Syiah.

Pengkafiran terhadap para Sahabat ini termaktub jelas dalam kitab-kitab yang menjadi rujukan utama Syiah, mulai dari; Ushul al-Kaafi, al-Burhan (1/319) karya Hasyim al-Bahrani, ash-Shafi (1/389) karya Muhsin al-Kasyani, Tafsir Nur Tsaqalain (1/396) oleh al-Huwaizini, sampai Tuhfatul Anwar Maqbul yang direkomendasi oleh Imam Khomaeni (pemimpin Revolusi Iran). Asal tahu saja, dalam Tuhfatul Anwar Maqbul berisi laknat terhadap Dua Berhala Quraisy, yang dimaksud adalah “Dua Kekasih Rasulullah”; Abu Bakr ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab radhiallahu’anhuma.

Padahal, dari merekalah kita mewarisi Islam ini melalui periwayatan hadits-hadits yang shahih. Jika mereka semua telah dianggap kafir, jelas akan muncul anggapan bahwa penganut Islam Sunni mengambil ilmu agama dari orang-orang kafir. Sudah barang tentu, ini adalah potensi berbahaya bagi munculnya konflik agama. Allah dengan tegas membela serta memuji para Sahabat dalam al-Qur’an, bahkan Taurat dan Injil. Allah menjadikan rasa dengki dan marah terhadap para Sahabat sebagai tanda-tanda adanya jentik kekafiran di hati. Sebagaimana firman-Nya:

“(Artinya) Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya (yakni para Sahabat) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” [QS. Al-Fath: 29]

Belum lagi penghalalan Syiah terhadap kawin mut’ah (kawin kontrak). Menurut Syiah, sah-sah saja wanita yang dinikahi dengan kontrak sampai jangka waktu tertentu. Jika waktu kontrak telah habis, maka habislah masa pakainya (otomatis jatuh cerai). Bisa dibayangkan masalah sosial yang akan timbul dari keyakinan seperti ini.

Akhir Kalam

Sebenarnya, keboborokan agama Syiah belum bisa habis dibicarakan dengan berjilid-jilid buku yang tebal. Apa yang terungkap di atas hanya seujung kuku dari lembaran kelam aqidah dan prinsip-prinsip agama Syiah. Dari secuil kebobrokan yang kami ungkap di atas, kini pembaca tentu bisa membandingkan, apakah sama antara kita (Islam Ahlussunnah) dengan mereka (Syiah)? Jika duduk permasalahannya telah jelas, maka tak ada jalan lain bagi MUI agar segera bersikap tegas dalam masalah ini untuk memfatwakan kesesatan ajaran Syiah, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Walikota Mataram, HM Ruslan yang dilansir oleh harian NTB Pos (Selasa, 15 Januari 2008).

Ketidaktegasan -apalagi sikap Ketua MUI NTB yang justru kontra mayoritas- dalam masalah ini, sekali lagi bisa mengundang kebingungan dan kekisruhan di tengah ummat yang jauh lebih hebat daripada apa yang ditakutkan jika ajaran Syiah ini difatwakan sesat dan dilarang.

Satu hal yang pasti, kita tidak merestui tindakan main hakim sendiri dan aksi-aksi anarkis terhadap siapapun juga. Karena Islam mengharamkan perbuatan zalim, baik kepada orang kafir sekalipun. Kita serahkan sepenuhnya sikap tegas terhadap Syiah di tengah-tengah kita kepada aparat yang berwenang.js

(Sumber bacaan: al-Furqon, 6/V/Muharram 1427 H)