Penanggalan Hijriah dalam sejarah Islam, didasari oleh peristiwa Hijrah Nabi r dan para sahabatnya radhiallaahu ‘anhum dari negeri kufur -Makkah waktu itu- menuju Madinah. Setelah bertahun-tahun berada dalam belenggu permusuhan, penyiksaan dan penistaan agama dari orang-orang musyrik di Makkah, mereka ber-Hijrah meninggalkan kampung halaman dan sanak famili tercinta. Tak ada yang menjadi motor penggerak peristiwa Hijrah ini melainkan semangat al-Wala’ wal-Bara’.

Iman dan Islam adalah hadiah teristimewa yang paling indah dari Allah, sehingga cinta dan loyalitas (al-Wala’) terhadapnya mengalahkan cinta dan loyalitas terhadap tanah air, harta, agama nenek moyang, dan fanatisme suku yang mewarnai kehidupan bangsa Arab kala itu. Sementara kekufuran dan kesyirikan adalah suatu hal yang paling mereka benci. Kebencian yang mengalahkan kebencian untuk meninggalkan tanah air, harta, agama nenek moyang dan para kerabat tercinta. Merekalah Hizbullah (Partai Allah) yang sebenarnya, yang akan menggapai keberuntungan dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskannya kepada kita dalam ayat yang agung:

(Artinya) “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah hizbullah (golongan Allah). ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [QS. Al-Mujaadilah: 22]

Prinsip al-Wala’ wal-Bara’ adalah prinsip para Rasul. Allah berfirman tentang sikap Nabi Ibarahim ‘alaihissalam:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” [QS. Al-Mumtahanah: 4]

Namun sayang beribu sayang, banyak di antara kita -kaum muslimin- melupakan spirit (semangat) al-Wala’ wal-Bara’ dalam setiap pergantian tahun Hijriah. Padahal, justru spirit inilah yang melandasi dan melatarbelakangi peristiwa Hijrah, sebuah peristiwa bersejarah yang kemudian melahirkan tahun Hijriah.

Konsekuensi al-Wala’ wal-Bara’

Salah satu konsekuensi aqidah al-Wala’ al-Bara’ adalah larangan ber-tasyabbuh, yaitu mengikuti atau menyerupai tradisi orang-orang kafir dan kebiasaan yang menjadi ciri khas agama mereka, atau karakter kental kebudayaan hidup mereka. Larangan tasyabbuh didasari oleh nash al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Yahudi-Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” [QS. Ali ‘Imran: 100]

Dalam mempraktikkan konsekuensi ini, Rasulullah r sangat anti (baca: Bara’) untuk serupa dengan orang-orang kafir. Ibnu ‘Abbas t mengisahkan: “Ketika Rasulullah r menjalankan Puasa ‘Asyuro (10 Muharram) dan memerintahkan untuk mengerjakannya, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah r, sesungguhnya hari ‘Asyuro ini juga diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah r bersabda: “Kalau begitu Insya-Allah tahun depan kita juga akan berpuasa di hari ke-9 (Muharram)”. Ibnu ‘Abbas t berkata: “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah r sudah lebih dulu wafat”. [Muslim: 1134, lihat al-Wajiiz fil Fiqhi hal. 206]

Nah, jika realita keumuman masyarakat Islam dalam setiap pergantian tahun Hijriah kita kaitkan dengan konsekuensi al-Wala’ wal-Bara’ ini, akan terpampang jelas di hadapan kita ironi yang aneh bin ajaib. Sungguh realita yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Momen pergantian tahun baru Hijriah justru menjadi ajang tasyabbuh. Betapa banyak biaya yang dihamburkan untuk acara pawai dan kembang api 1 Muharram? Sungguh ini -selain mubazir- adalah bentuk perayaan yang menyerupai perayaan tahun baru masehi di Barat sana. Belum lagi ritual-ritual aneh 1 Syuro yang mirip ritual Hinduisme yang sarat akan praktek kesyirikan. Ini baru dari satu sisi.

Di sisi yang lain, aqidah al-Wala’ al-Bara’ menuntut kita untuk cinta dan loyal terhadap sunnah Rasulullah r, sekaligus benci dan berlepas diri dari bid’ah, sikap mengada-ada dalam syari’at. Namun tengoklah kenyataannya, aneka ragam ritual dan ibadah diada-adakan untuk “memeriahkan 1 Muharram”. Mulai dari do’a berjama’ah akhir dan awal tahun di masjid-masjid, ritual di pantai menanti detik-detik matahari terbenam, bahkan sampai memblokir jalan raya untuk difungsikan sebagai lokasi ritual menyambut pergantian tahun Hijriah.

IBADAH: Tidak Cukup Hanya Bermodalkan “Ketulusan Niat”

Mungkin niat dan tujuan mereka baik, semata-mata untuk mengangkat syi’ar Islam, demi menyaingi perayaan tahun baru Masehi, tahun baru Cina, tahun baru Saka, dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja, niat yang baik dan tulus, tidak bisa lantas menjadikan amalan yang buruk (baca: bid’ah) menjadi baik.

Rasulullah r sangat keras mengkritisi sikap seperti ini, sebagaimana dikisahkan oleh Anas t:

“Datang tiga orang menuju rumah para istri Nabi r. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi r. Manakala mereka dikabarkan perihal ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi r, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang telah lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka lantas berkata: ‘Adapun aku, sungguh aku akan solat malam selamanya (tidak tidur).’ Berkata lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr, dan tidak akan berbuka (puasa setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah selamanya.”

“Maka Nabi r datang, lantas berkata (sambil marah): ‘Kalian yang berkata begini… dan begini…? Adapun aku demi Allah! Aku orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling taqwa kepada-Nya daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa, tapi juga berbuka (ada hari jeda). Aku solat (malam), dan aku juga tidur. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih memilih yang lain), maka dia bukan golonganku”. [Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lih. Ushuulul Bida’ hal. 108]

Dalam kisah tiga orang tersebut, terdapat pelajaran yang lembut, bahwa niat yang baik dalam menjalankan ibadah, tidak bisa menjadikannya baik dan diridhai, jika ibadah tersebut tidak sesuai dengan syari’at Rasulullah r. [Lihat Ushuulul Bida’ hal. 108-109, Ali Hasan al-Halabi].

Demikianlah bid’ah. Ia tetap tercela di mata syari’at, sekalipun akal-akal kita dan perasaan manusia beranggapan sebaliknya. Ibnu ‘Umar t pernah berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah kesesatan, sekalipun manusia memandangnya sebagai kebaikan.” [Lihat al-Wajiiz fil ‘Aqiidah hal. 210]

Pelakunya tetap tercela, karena telah menandingi syari’at Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. #

Penyusun: Editorial Pustaka al-Hunafa’

Muraja’ah: Ust. Fakhruddin, Lc.