Tujuan melakukan ziarah kubur ada 2 (dua), sebagaimana dijelaskan dalam al-Mausu’atul Fiqhiyyatul Muyassaroh (4/205). Pertama, agar peziarah bisa mengambil faidah dengan mengingat kematian dan orang-orang yang telah mati, dimana tempat kembali mereka hanya ada dua kemungkinan; surga atau neraka. Kedua, untuk memberikan manfaat bagi penghuni kubur dengan ucapan salam serta do’a, dan permohonan ampunan dosa untuknya. 

 

Imam ash-Shan’aaniy dalam Subulus Salaam (2/162) mengatakan (setelah membawakan hadits-hadits tentang ziarah kubur beserta hikmahnya):

Seluruh dalil (yang telah disebutkan), menunjukkan disyari’atkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmahnya, yaitu untuk mengambil pelajaran (dari kematian). Jika (ziarah kubur) dilakukan tanpa mengambil ibrah (pelajaran), maka ziarah itupun tidak diinginkan secara syar’i.”

ZIARAH KUBUR (MENURUT SUNNAH)

Pertama: Dilakukan dengan niat ikhlas Lillaahita’ala dan semata-mata demi mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam. Niat inilah yang akan mendatangkan pahala ziarah kubur bagi pelakunya. Jika tanpa niat ini, maka amalannya sia-sia. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda (artinya): “Sesungguhnya amal-amal (ibadah) bergantung pada niatnya.” [HR. Bukhari-Muslim]

Kedua: Melepas alas kaki ketika memasuki pekuburan muslimin. Karena ada hadits dari Basyir bin al-Khoshoshiah t yang mengisahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah melihat seseorang berjalan di antara kuburan muslimin dengan sandalnya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkannya untuk menanggalkannya, dengan segera ia melempar kedua sandalnya. [HR. Abu Dawud: 2/72, dll, lih. Ahkaamul Janaa-iz hal. 173]

Ketiga: Mengucapkan salam dan berdo’a memohon rahmat dan maghfirah bagi penghuni kubur.

Berdasarkan hadits Buraidah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengajarkan para Sahabat yang hendak ziarah kubur (do’a):

السَّـلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّياَرِ، مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَإنَّا إنْشَاءَ اللهُ لَلاَحِـقُوْنَ، أسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Semoga kesejahteraan bagi kalian (wahai) penghuni kubur, dari kalangan mukminin dan muslimin, kami Insyaa Allah akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan bagi kami dan kalian.” [Shahih Muslim: 975]

Atau dengan do’a berikut ini yang juga termaktub dalam Shahih Muslim (Kitaabul Janaa-iz no. 103):

السَّــلاَمُ عَلَى أَهْلِ الــدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِـينَ مِنَّـا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ

Semoga kesejahteraan bagi kalian wahai penghuni kubur, dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati mereka yang telah mendahului kami dan yang akan menyusul, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian (di tempat ini).”

Boleh mengangkat tangan ketika berdo’a sebagaimana riwayat ‘Aisyah radhiallahu’anha yang melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berdo’a di pekuburan Baqi’ sambil mengangkat tangan (Shahih Muslim, Kitaabul Janaa-iz no. 103).

Akan tetapi hendaklah menghadap kiblat ketika berdo’a, jangan menghadap penghuni kubur. Hal ini berdasarkan keumuman hadits yang melarang shalat menghadap kubur atau di samping kubur (karena sholat -pada hakikatnya- adalah do’a). Mengingat juga ketetapan para ulama muhaqqiqin yang mengatakan:

لاَ يُسْتَقْبَلُ بِالدُّعَاءِ إلاَّ مَا يُسْتَقْبَلُ بِالصَّلاَةِ

Tidak dihadapkan (ke arah manapun) dalam berdo’a, kecuali ke arah dihadapkannya sholat. (atau dengan kata lain: Kemana hadap sholat, ke sanalah hadap berdo’a)” [lih. al-Mausuu’atul Fiqhiyyah: 4/208-209]

Dan yang demikian ini (yakni berdo’a menghadap kiblat ketika ziarah kubur) adalah pendapat dalam Madzhab Syafi’i sebagaimana ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (5/311). [lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 248]

Ketiga: Berdiri di samping kubur untuk mengambil ibrah, merenungi kematian, mengingat nikmat kubur dan adzabnya, serta kemana tempat kita kembali di akhirat kelak.

Dalam hadits yang panjang tentang kisah perginya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam di waktu malam ke pekuburan Baqi’, ‘Aisyah radhiallahu’anha menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam berdiri cukup lama di Baqi’ sampai-sampai beliau mengangkat tangan tiga kali untuk berdo’a. [Shahih Muslim, Kitaabul Janaa-iz: 103]

BEBERAPA HAL PENTING

1. Dibolehkan untuk duduk di samping kubur ketika mengambil ibrah dan perenungan. Namun duduk-duduk di atas kubur, maka ini hukumnya haram berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ أَنْ يُجَصَّـصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعِدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam telah melarang mengapur (menembok) kuburan, duduk-duduk di atasnya, mendirikan bangunan di atasnya…” [Shahih Muslim no. 970]

2. Jangan menyembelih kurban di kuburan, sekalipun diniatkan untuk Allah. Berdasarkan hadits:

لاَ عَقْرَ فِيْ الإِسْلاَمِ، قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هِشَامٍ: كَانُوْا يَعْقِرُوْنَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرةً أَوْ شَاةً.

(Rasulullah r besabda) Tidak ada sesajen dalam Islam.” ‘Abdurrazzaq bin Hisyam menegaskan: ‘Dahulu di zaman jahiliyah, orang-orang gemar melakukan sesajen di kuburan dengan menyembelih sapi atau kambing.” [Shahih:  Abu Dawud: 2/71, lih. Ahkaamul Janaa-iz hal. 259]

3. Jangan sholat di kuburan, apalagi menghadap kuburan. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam besabda:

الأرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إلاَّ الْمَقْبَرَةُ وَالْحَمَّامُ

(Bagian) bumi seluruhnya bisa digunakan sebagai tempat sholat, kecuali kuburan dan kamar mandi.” [Shahih Abu Dawud no. 463]

لاَ تُصَلُّوْا إِلَى الْقُبُوْرِ

Janganlah kalian sholat menghadap kuburan…” [Shahih Muslim no. 972]

4. Jangan bepergian jauh ke kuburan tertentu yang dianggap keramat untuk mencari berkah. Karena tradisi ini bisa menjerumuskan kaum muslimin ke jurang kesyirikan -na’udzubillah. Yang disyari’atkan adalah ziarah ke pekuburan umum yang terdekat atau kuburan keluarga-kerabat.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda (artinya): “Jangan kalian bersusah payah melakukan perjalanan (demi mencari berkah), kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid Rasul (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha.” [Shahih Bukhari no. 1189]

5. Termasuk yang dilarang para ulama adalah melakukan ziarah kubur dengan mengkhususkan waktu-waktu tertentu tanpa landasan dalil yang shahih (seperti mengkhususkan bulan Ramadhan, hari Jum’at, setelah sholat ‘ied, dll), dengan keyakinan waktu-waktu tersebut lebih mendatangkan pahala atau berkah, padahal tidak ada satupun dalil tentang hal ini. Yang benar, ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja, tidak ada pengkhususan waktu dari syari’at. [lih. Ahkaamul Janaa-iz hal. 325] 

6. Tidak ada contoh dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam dan para Sahabat, bahwa mereka membaca al-Qur-aan saat ziarah kubur, apakah itu membaca al-Faatihah atau surat Yaasin. Jika memang hal ini disyari’atkan, tentu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam akan mengajarkannya kepada para Sahabat, dan riwayatnya tentu akan dinukil dan akan sampai kepada kita. Namun tidak ada satupun riwayat yang shahih tentang hal tersebut.

Di antara dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu yang mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca al-Qur-aan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda (artinya):

Jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya syaithan benar-benar lari dari rumah yang dibacakan padanya surat al-Baqarah.” [Shahih Muslim no. 780]

7. Jangan menjadikan kuburan sebagai masjid atau tempat perayaan. Berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam (yang artinya):

Semoga laknat Allah atas Yahudi dan Nashrani (dikarenakan) mereka telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah).” [Bukhari-Muslim, lih. al-Wajiiz hal. 226, cet-IV]

Jangan jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan (dalam rangka ibadah kepada Allah),…” [Shahih Jami’us Shagir: 7226, lih. al-Wajiiz hal. 226, cet-IV]. Jika di kuburan Nabi saja dilarang untuk melakukan ritual-ritual perayaan, maka apalagi kuburan-kuburan lainnya, tentu lebih tidak pantas lagi.

***

Disarikan oleh Redaksi al-Hujjah

dari Sumber Bacaan:

Ahkaamul Janaa-iz, Imam al-Albani

al-Mau’su’ah al-Fiqhiyyah, Husein al-Uwaisyah

al-Wajiiz fil Fiqh, Abdul’azhim Badawi

Subulus Salaam, Imam ash-Shan’aaniy

Shahih Muslim, Imam Muslim

Taudhiihul Ahkaam, Abdullah al-Bassaam

Muroja’ah:

Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.