Thaharah (bersuci) dalam istilah fiqih, sebagaimana yang didefinisikan oleh al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/11), adalah: “Mengangkat hadats dan menghilangkan na’jis atau yang semakna (dengan mengangkat hadats dan menghilangkan na’jis tersebut).

Dari definisi di atas, ada dua macam bersuci: (1) Bersuci dari hadats baik besar maupun kecil dan (2) Bersuci dari na’jis.

Al-Imam as-Shan’ani berkata: “Pada hakikatnya bersuci adalah menggunakan dua zat yang dapat mensucikan, yaitu air dan tanah atau salah satu dari keduanya dengan cara yang disyariatkan untuk menghilangkan na’jis dan hadats.” (Subulus Salam Syarah Bulughul Maram: 1/21)

al-Miyaah (Air)

Secara ringkas, air yang dapat dipakai bersuci adalah setiap air yang keluar dari tanah maupun yang turun dari langit. (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 1/12). Hal ini berdasarkan firman Allah:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (suci)….” (Q.S. al-Furqan: 48 )

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda tentang air sumur yang bersumber dari air bumi:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ ينَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu (air sumur budha’ah), suci tidak dipengaruhi oleh na’jis sedikitpun.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai, dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil: 1/45).

Air laut juga suci berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَالْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Air laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, Malik, as-Syafi’i dan Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah no.480 ) .

Air yang turun dari langit maupun yang keluar dari bumi masih tetap suci selama air tersebut tidak keluar dari kemutlakan nama air. Sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Syafi’i: “Air mutlak adalah sesuatu yang sudah mencakupinya jika dinamakan air.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 1/12). Jika keluar dari kemutlakan nama air (tidak cukup hanya disebut air saja), seperti: bensin, kopi dsb, maka tidak sah dipakai bersuci lagi.

Para ulama sepakat bahwa air yang suci akan berubah na’jis jika berubah bau, warna atau rasanya karena bercampur dengan benda na’jis. Imam an-Nawawi berkata: “Berkata Ibnul Mundziri, “Para ulama sepakat bahwa air yang sedikit maupun yang banyak jika tercampur dengan na’jis sehingga merubah rasa atau warna atau baunya maka air tersebut na’jis.” (al-Majmu Syarhul Muhadzdzab: 1/36)

Na’jis

Hukum asal segala benda di dunia ini suci kecuali yang dijelaskan oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa benda tersebut na’jis. Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

Jika tidak ada dalil yang sah menyatakan sebuah benda na’jis maka benda tersebut tidak bisa dikatakan na’jis, sebab tidak ada yang bisa mengubah hukum asalnya (suci) kecuali Allah (lihat as-Sailul Jarrar: 1/31, karya Imam asy-Syaukani).

Berikut beberapa benda yang dijelaskan na’jis-nya oleh dalil-dalil berikut cara bersuci darinya:

1. Kencing dan Kotoran Manusia

Berdasarkan hadits:

عن أَنَسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ دَعُوهُ وَلَا تُزْرِمُوهُ ، قَالَ : فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ

Dari Anas: “Ada seorang badui kencing di Masjid, sebagian Sahabat berdiri untuk melarangnya. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Biarkan dia, jangan dihentikan.” Anas berkata: Ketika ia selesai kencing, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meminta se-ember air kemudian disiramkan di tempat tersebut.” (HR. Bukhari no. 6025 dan Muslim no. 284).

Dan hadits:

إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمُ بِنَعْلِهِ الأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ

“Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka tanah bisa menyucikannya.” (HR. Abu dawud dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).

Kedua hadits ini sekaligus menunjukkan cara bersuci dari na’jis tersebut, seperti kotoran di sandal dapat disucikan dengan cara menggosokkannya di tanah sehingga kotoran tersebut hilang.

Adapun kencing anak laki-laki yang belum makan makanan; diriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihshan, bahwa ia datang membawa anak laki-lakinya yang masih kecil, yang belum makan makanan ke Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun mendudukannya di pangkuannya, kemudian anak itu kecing di atas baju beliau, lalu beliau memercikkan air di atas kencing itu dan tidak mencucinya. (HR. Bukhari no. 223 dan Muslim 286, 287).

Cara menyucikan kencing dengan memercikkan air, khusus untuk anak laki-laki yang masih kecil dan belum makan makanan lain selain susu (ASI). (Lihat Minhajut Thalibin, karya Imam Nawawi, hal 81). Maksudnya anak tersebut belum diberi makanan lain sebagai makanan rutinnya. (Lihat Kifayatul Akhyaar: 1/55). Sedangkan yang lainnya wajib dicuci (dengan menyiramkan air di bekas kencing tersebut).

2. Kotoran Hewan yang Dagingnya Haram Dimakan.

Berdasarkan hadits:

Dari Abdullah (Ibnu Mas’ud), ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ingin buang hajat, lalu beliau bersabda: Ambilkan aku tiga batu.” Saya mendapatkan untuk beliau dua batu dan satu kotoran keledai (kering). Beliau mengabil dua batu dan membuang kotoran tersebut lalu bersabda: “Kotoran ini na’jis.” (HR. Ibnu Majah, dihshahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah. Adapun tambahan kata himar (keledai) dalam kurung adalah riwayat Ibnu Khuzaimah, tambahan ini juga disiyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).

Keledai kota termasuk hewan yang haram dimakan, berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: “Pada perang Khaibar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melarang memakan keledai kota dan memberi keringanan memakan kuda.” (HR. Bukhari no. 5520 dan Muslim no. 1407)

Sedangkan kotoran hewan yang halal dagingnya tidak na’jis, ini adalah salah satu pendapat dalam madzhab as-Syafi’i yang didukung oleh Imam ar-Ruyani dan juga merupakan pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik. (Lihat Kifayatul Akhyar: 1/53).

Adapun kotoran yang sedikit, seperti kotoran cecak dan tikus tidak na’jis, karena sedikitnya dimaafkan, ini berdasarkan kesepakatan para ulama. (Lihat Kifayatul Akhyar: 1/53).

3. Darah Haidh

Berdasarkan hadits dari Asma, ia berkata: seorang wanita datang pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan bertanya: “Salah seorang di antara kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang mesti ia lakukan dengan pakaian tersebut?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: “Hendaknya ia mengoreknya, dicuci dengan air dan disiram, kemudian ia boleh shalat memakai pakaian tersebut.” (HR. Bukhari no. 227, 307 dan Muslim 291).

4.Air Liur Anjing

Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:

طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Sucinya bejana salah seorang diantara kalian jika dijilat anjing, dengan mencucinya tujuh kali dan yang pertama dengan tanah.” (HR. Muslim no. 280).

5. Madzi dan Wadi

Madzi adalah cairan putih (bening), encer dan lengket, keluar karena bangkitnya syahwat (gairah seksual). Madzi tidak seperti mani yang keluar menyembur dan diikuti dengan rasa lelah.

Wadi adalah cairan putih (bening), kental dan keluar setelah kencing.

Ibnu Abbas berkata: “Sedangkan untuk Wadi dan Madzi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ

“Basuhlah dzakar atau kemaluanmu dan wudhu-lah seagaimana engkau wudhu untuk shalat.” (HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud).

6. Bangkai Hewan

Bangkai yang dimaksud adalah setiap hewan yang mati tanpa disembelih dengan cara yang syar’i.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Jika kulit bangkai itu sudah disamak maka ia telah suci.” (HR. Muslim no. 366).

Diperkecualikan dari bangkai hewan di atas, tiga hal:

A. Bangkai ikan dan belalang

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah, kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang, kedua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Baihaqi dan dishaihkan oleh al-Albani dalam Shaih Jami’ush Shagir).

B. Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir seperti lalat, semut, lebah dan lain-lain.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِى الآخَرِ شِفَاءً

“Jika ada lalat jatuh di bejana salah seorang di antara kalian, hendaknya ia mencelupkannya seluruhnya, lalu membuangnya, karena pada salah satu dari kedua sayapnya terdapat racun dan di sayap lain terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari no. 3320).

C. Tulang, tanduk, rambut dan bulu bangkai

Az-Zuhri berkata tentang tulang bangkai seperti gajah dan lainnya: “Saya menjumpai beberapa orang ulama salaf (terdahulu) bersisir dengan tulang dan meminyaki rambut mereka menggunakannya, mereka melihat hal ini tidak mengapa (tidak na’jis).”

Ibnu Sirin dan Ibrahim berkata: “Tidak mengapa menjual gading gajah.”

Hammad berkata: “Tidak ada masalah dengan bulu bangkai.” (Ketiga atsar ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahih beliau di Kitabul Wudhu bab ma yaqa’u minan najasati fis samni walma-i). al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ini menunjukkan bahwa mereka berpendapat akan sucinya tulang tersebut.” (Lihat Fathul Bari 1/407).

Az-Zuhri adalah seorang Tab’in, Imam adz-Dzahabi menyebutkan bahwa beliau lahir pada masa ke-khalifahan Umar bin Khatthab dan meninggal tahun 95 H, jadi yang beliau maksud dengan ulama salaf tentu para Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Hammad adalah Ibnu Abi Sulaiman al-Kufi, seorang tabi’in dan guru Imam Abu Hanifah. Ibnu Sirin, beliau juga seorang Tabi’in, beliau maula Anas bin Malik sang pembantu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. (Lihat Siyaru A’lamin Nubala, karya Imam adz-Dzahabi).

Catatan: Penomoran pada hadits Bukhari dan Muslim, sesuai penomoran Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi.